Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual? Jawabannya adalah semua bentuk ancaman dan pemaksaan seksual termasuk sexting didalamnya. Dengan kata lain kekerasan seksual adalah kontak seksual  yang tidak dikehendaki oleh satu pihak. Intik dari kekerasan seksual terletak pada "Ancaman" (verbal) dan "Pemaksaan" (tindakan). Didalam kita Undang undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari kekerasan seksual  dapat ditemui didalam pasal 289. Di dalam pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan dan  atau ancaman kekerasan  memaksa perempuan atau bukan istrinya  berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama lamanya 12 tahun. Sedangkan dalam pasal 289 KUHP disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan ada dirina perbuatan cabul, dihukum karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara selama lamanya Sembilan tahun.[1] Secara garis besar yang bisa kita sebut sebagai kekerasan seksual adalah tindakan kontak seksual yang mengandung ancaman dan paksaan yang salah satu pihak dirugikan.
 Pengertian dari Sexting
 Istilah "Sexting" diciptakan pada tahun 2005 (Walker dkk, 2013) berasal dari bahasa media (Ybarra & Mitchell, 2014) yang terdiri dari kata sex dan texting (Weidman dkk, 2015). Sexting merupakan pengiriman dan penerimaan gambar sugestif dan eksplisit. Dimana terjadi pertukaran dan penyebaran gambar seksual dari satu ponsel ke ponsel lain. Baik melalui pesan teks, email atau pesan virtual ke internet maupun media sosial lainnya.Termasuk memposting di internet gambar yang ditayangkan secara seksual, seperti gambar telanjang atau gambar semi telanjang (Catherine, 2014. Melissa dkk. Rayeed, 2016. Anastassiou, 2017).[2]
 Jadi bisa kita ambil arti sederhana dari perilaku Sexting yakni perilaku yang ditujukan kepada korban yang mengandung unsur pelecehan seksual baik itu dalam bentuk video, foto ataupun kata kata yang bersifat menggoda atau melecehkan melalui perantara chat singkat.
 Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual (Buku Ipunas)
 Ketimpangan Relasi Kuasa Antara Laku Laki dan Perempuan
 Kekerasan seksual lebih mungkin terjadi didalam masyarakat dengan peran gender yang kaku dan tradisional, didalam masyarakat dimana ideology superioritas laki laki kuat menekankan dominasi, kekuatan fisik dan kekerasan, maka kekerasan seksual lebih umum terjadi.[3]
 Hak dan Kehormatan Laki Laki
 Laki laki cenderung melakukan kekerasan seksual didalam masyarakat yang memiliki konsep kehormatan dan hal laki laki diterima secara budaya dan dimana kekerasan seksual tidak dihukum. Di banyak negara, perhatian laki laki bergantung pada kemurnian seksual perempuan. Pemerkosaan seorang perempuan akan menodai kehormatan suami atau keluarganya dan kemungkinan akan menghadapi hukuman sebagai cara memulihkan kehormatan keluarga, Hukuman bisa termasuk pernikahan dengan pemerkos, larangan dan berbagai tingkat kekerasan terhadapnya, termasuk pembunuhan, atau dapat dikatakan "Pembunuhan untuk kehormatan".[4]
 Tidak Ada atau Lemahnya Sanksi dan Layanan Kepada Korban
 Pengabaian masyarakat terhadap kekerasan seksual dibuktikan dengan tindakan yang tidak responsive terhadap sistem dan layanan untuk korban kekereasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi atau bentuk tertentu tidak diakui sebagai "Kekerasan seksual"  oleh hukum dibanyak negara sehingga menyebabkan korban tidak dipenuhi hak haknya. Bukti yang diberikan oleh korban seringkali tidak dianggap cukup kuat untuk membuktikan telah terjadi kekerasan seksual. Korban tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya, karena takut menjadi korban kembali sistem peradilan pidana. Di beberapa tempat, bahkan kekerasan seksual terjadi di tempat umum, kebayakan orang yang lewat mengabaikan tindakan untuk mencegah atau enggan memberi pertolongan karena tidak mau campur tangan. Tidak ada atau lemahnya sanksi dan layanan terhadap korban, berkontribusi, dan memperburuk kekerasan seksual. Sistem yang tidak responsif gagal membuat pelaku bertanggung jawab dan tidak memenuhi kebutuhan korban.[5]