“Dan kita berada pada zaman dimana orang mulai mengabaikan makna.” Ia merespons datar.
“Ah, kau benar-benar ingat.” Aku tertawa kecil. “Makna waktu, makna melangkah, makna melakukan apapun sebagai diri kita sendiri, semua terdegradasi.”
“Ku rasa sudah hampir 5 kali kau mengucapkan kalimat itu padaku Fin, bagaimana aku tidak lupa.” Wajahnya terlipat sedikit. “Walau sebenarnya pemahamanku belum seperti yang kau sadari.”
“Semua karena eksistensi mendahului esensi. Tidakkah kau sadar itu Zen? Makna adalah kesatuan pola, proses, dan struktur. Ketika semua dimudahkan, dimana lagi letak makna itu? Merasuk ke segala sisi, bahkan agama pun sudah kehilangan maknanya.”
“Memang Fin, aku merasa sekarang banyak yang beragama tapi tak ber-Tuhan.”
Aku menoleh, memandang Zen sejenak. “Kau sudah mulai bijak sepertinya.”
“Gara-gara kebanyakan dengar ocehanmu.” Ia terkekeh. Matanya lurus menatap jalanan yang selalu penuh dengan mesin beroda yang mengeluarkan asap tak kasat mata tiada henti.
Aku kembali meluruskan kepalaku, membiarkan mataku menangkap apapun yang ada di depan sana. Kosong. “Semua tidak berproses dengan semestinya. Bagai bayi yang lahir prematur. Zaman penuh kekacauan.”
“Mau gimana lagi” Zen diam sejenak, memperbaiki posisi duduknya. “Hei Fin, tidakkah kau berpikir, karena Tuhan ada bagi mereka yang kesusahan, ketika semuanya serba mudah, apa lagi gunanya memikirkan yang di luar rasio?”
“Kalau begitu salahkan lah semua teknologi ini.” Aku tersenyum. “Benar-benar eksistensi mendahului esensi. Orang-orang membual mengenai manfaat teknologi sampai mulut mereka berbusa pun, makna satu langkah kaki tetap tak bisa tergantikan.”
“Dan kita memang berada pada masa dimana makna tidak lagi menjadi kesadaran.”