“Enggak, aku mau ke rumah saudaraku dulu, agak jauh dari sini. Mau bantu-bantu, mumpung besok hari minggu.”
“Aku pikir kau beneran gak akan memberi tahuku tujuanmu.” Aku tertawa. “Ya sudah, sampai ketemu.”
“Duluan Han.” Ia melangkah pergi dengan tangan melambai singkat.
“Hati-hati Ray.”
Aku berdiri diam sembari menatap Rayya yang berjalan menjauh. Satu lagi ketidakpastian hidup menabrakku. Semakin membelokkan takdirku dari rencana semula yang hanya lurus-lurus saja. Perubahan memang pasti terjadi.
Siapalah aku bisa mencegah perubahan yang terjadi pada diriku sendiri.
Punggung Rayya semakin terlihat mengecil. Angin bertiup halus lembut, mengusap seluruh pikiranku dalam kesunyian sesaat. Kombinasi matahari dan angin yang menghasilkan suhu dan kelembapan berada dalam kondisi yang sempurna, ditambah langit yang mulai terlihat kehilangan warna birunya, dan suasana masyarakat yang dipenuhi sensasi dan perasaan, membuat dunia benar-benar seakan berada pada puncak keindahannya.
Setelah beberapa saat menikmati ketenangan yang tercipta, aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku. Tanpa berpikir lagi, kakiku melanjutkan perjalanan. Hingga beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di tempat yang biasa ku tuju setelah rutinitasku berganti.
Mataku menyisir sekeliling, celingak-celinguk dalam harapan kecil. Akhirnya ku temukan juga. Aku berjalan santai langsung menuju tempat itu, dan seperti biasa ia duduk di situ. Seorang wanita kurus kecil dengan muka pucat berisi mata yang menatap kekosongan.
-Bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H