“Kau tak perlu tahu.” Aku menoleh dan tersenyum padanya sejenak. “Yang jelas aku mau ke taman dulu sekarang.”
“Ya sudah bareng aja. Searah dengan tujuanku.”
“Emang kau mau ke mana?”
“Kau tak perlu tahu.” Ia mengangkat bahu, kemudian tertawa. Melihat rupanya, aku merasa ia seperti orang dengan penuh tanda tanya.
“Well, terserah padamu.”
Kami kemudian melangkah bersama ke luar gerbang sekolah. Sepertinya langit sedang ingin bersahabat saat itu. Sekumpulan awan berkali-kali menghadang ganasnya matahari, membuat suasana cukup sejuk untuk sekedar menikmati kaki melangkah santai. Sudah lama. Sejak sepeda itu diberikan padaku beberapa bulan yang lalu.
Terkadang aku merasa berjalan memiliki filosofinya sendiri. Betapa dalamnya makna melangkah murni dengan kaki, tidak dengan roda ataupun mesin.
***
“Dan karena itu kau mengajakku berjalan terus sekarang?” Zen menodongku dengan pertanyaan spontan.
Kami masih belum berpindah dari tempat kami duduk. Ku biarkan Zen istirahat dulu. Biru langit sudah mulai melebur dengan panjang gelombang yang lebih tinggi sebagai akibat dari sudut matahari yang mengubah dispersi.
“Mungkin.” Aku menepuk pundaknya. “Kau akan tahu betapa teknologi sekarang mereduksi makna satu langkah kaki”