“Itu kalau makna kenalmu sempit, sebatas nama. Aku tidak tahu namamu sebelumnya pun, aku mengenalmu sebagai anak kutu buku.”
“Apalah arti sebuah nama.”
“Ngomong-ngomong, hai Han, namaku Rayya. Salam kenal.” Tangannya menjulur.
Aku sambut tangannya dan kita pun berjabat tangan. “Oh, hai juga Ray, salam kenal.” Setelah berpandangan sejenak, tawa kita meledak bersama-sama. Semua mata seketika mengarah pada kami beberapa saat, sebelum semua pemilik mata itu kembali ke urusan masing-masing.
Beberapa saat hanya ada tawa dan suara obrolan anak-anak lain.
“Jadi kau mu’allaf akhirnya?” Ujarnya kemudian.
“Masih status aku rasa” Aku mengangkat bahu.
Ia tertawa. “Kau akan tahu Han. Ayo ambil wudhu, sudah tahu caranya kan?”
Tak menjawab, aku hanya tersenyum dan berdiri.
Aku menatap atap bangunan itu, pantulan cahaya matahari membuat benda berbentuk kubah lancip itu seakan bersinar. Sebuah kebiasaan baru. Rutinitas baru. Terdengar suara lantunan yang orang-orang sebut iqamah, tanda ritual sudah mau dimulai, aku bersama Rayya mempercepat langkah.
***