Mohon tunggu...
Adithya Tri Firmansyah R
Adithya Tri Firmansyah R Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengembang Hukum dan Teknisi Hukum

Learn to be Learn (Belajarlah untuk belajar menjadi terpelajar). Konten ini akan banyak memberikan suguhan tulisan yang bersifat informatif dan membuka wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aksi Peringatan Darurat: Ambivalensi Regulasi Demokrasi Daerah yang Berujung Amarah

26 Agustus 2024   17:13 Diperbarui: 29 Agustus 2024   04:16 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                           Oleh: Adithya Tri Firmansyah R 

"Mendapatkan tindakan represif di atas jalan saat ia mengemukakan aspirasi dan luapan hatinya, itu adalah tragedi kemanusiaan. Tidak ada toleransi, tidak ada maaf. Apa dan siapa pun dia..."

Langit di beberapa kota hitam. Entah hitam karena hujan, atau tumpahan air mata yang kemudian mengendap ke awan. Siapa pun tentu bisa memprediksi apa yang terjadi beberapa waktu lalu, luapan emosi massa, kekerasan, hingga jatuhnya korban luka-luka. Massa berusaha mengekspresikan kecemasan hatinya akibat ancaman demokrasi yang tidak adil melalui regulasi Pilkada, negara-pun menanggapinya dengan pasukan bersenjata dalam jumlah besar. Entah ada apa, jika anak kecil melihat, tentu yang ada dibenaknya, seperti ada perang antara negara vs warganya.

Sampai tulisan ini saya buat, rasanya masih sulit bagi saya untuk mengurai akar masalah yang sebenarnya mengingat saya bukan seorang politisi/ilmuwan politik, bukan juga peramal/dukun yang bisa membaca alam pikir para pembentuk UU, hanya yang bisa diamati secara politik adalah, rezim saat ini (2019-2024) dalam beberapa tahun belakangan sangat gemar memproduksi regulasi non populis (tidak pro rakyat). Sebenarnya alam pikiran saya selalu berimajinasi, betapa sejuknya alam negeri ini, saat kekuasaan mengerti apa yang dikehendaki rakyatnya tanpa rakyat harus berteriak, parlemen menjadi tegas layaknya singa yang buas untuk menerkam kebijakan yang serba dzalim, dan rakyat yang teduh hidup dengan keluarganya penuh dengan cinta kasih tanpa ada kekhawatiran finansial dan kelaparan.

Dalam keadaan seperti itu saya membayangkan, tidak perlu uang Miliyaran dan energi yang berlebihan untuk merawat intrik-intrik kekuasaan melalui agenda-agenda tertentu. Kebijakan yang pro rakyat, rakyat yang sejahtera dan bahagia, maka tentu falsafah Pancasila akan tertanam baik dalam dada dan kepala setiap manusia. Tapi itu hanya imajinasi/utopia, saat mata sadar terbangun, realitas menunjukkan lain!

Saya selalu berdiri pada sikap yang sama seperti pakar hukum, masyarakat, mahasiswa dan elemen-elemen lainnya yang menaruh atensi terhadap ambivalensi (perasaan bertentangan) pada demokrasi di negeri ini. Khusus secara pribadi, sedari duduk di bangku kuliah S1 dulu, isu demokrasi pada sektor pembentukan Undang-Undang cukup sering menguras perhatian saya. Atas dasar itulah hingga saat ini saya cukup sering melakukan penelitian seputar Hukum Tata Negara (HTN) pada isu-isu kontemporernya. Namun, tulisan ini bukan untuk mengulas hal ini.

Beberapa hari ini, saya cukup banyak dimintai komentar baik oleh rekan-rekan sejawat, junior dan pihak-pihak lainnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada aksi peringatan darurat belakangan ini. Oleh karena itu dalam tulisan ini, saya hendak memberi komentar sedikit tentang ‘apa yang terjadi belakangan ini, dan bagaimana ke depan?’.

Sajian Dinasti Politik dalam Tubuh Yudikatif dan Legislatif

Pertama, apa yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini? Dinasti Politik. Ini adalah titik kulminasi (titik puncak) dari rusaknya Demokrasi yang sebenarnya sudah harus disadari sejak menjelang akhir tahun 2023, saat itu lahir Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) Nomor 90. Ya, putusan ini memberikan kesempatan masuknya Anak Presiden yang belum memenuhi ambang batas usia 40 Tahun sesuai UU Pemilu. Di sisi lain, hal ini menunjukkan jika mesin partai politik tidak berhasil menjalankan rekrutmen yang ideal berbasis pada kaderisasi dan ideologi Partai.

Ditambah lagi, lembaga negara seperti yudikatif disorientasi dengan mengambil peran menjadi pembentuk norma yang mematikan unsur produk hukum (UU Pemilu) meski telah memberikan tekanan dan komando penormaan yang jelas dan konkrit terkait ambang batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yakni 40 Tahun. Akibat putusan MK, partai politik seperti berlomba-lomba memanfaatkan elektabilitas Anak Presiden dan seakan menunjukkan paling demokratis dalam menjalankan rekrutmen, meskipun kenyataanya jauh panggang dari api. Bungkusnya demokratis, namun tindakannya sangat elitis dan pragmatis.

Kedua, terdapat kecendrungan pola yang sama dari Putusan MK No. 90 dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 tentang pengujian Regulasi Pilkada dalam PKPU. Putusan  MA ini mengubah pemaknaan PKPU yang telah ketat mengatur ambang batas Usia Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah khusus saya soroti untuk Pilkada Provinsi adalah 30 Tahun untuk Cagub dan Cawagub, dan kriteria ini menjadi syarat 'penetapan Calon', kemudian Pasca Putusan MA beralih batas usia terhitung pada saat 'pelantikan'. Putusan ini banyak dikaitkan dengan wacana memuluskan Anak Presiden lainnya yang belum genap 30 Tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai Cagub/Cawagub.

Namun, ini adalah permasalahan awal, puncak persoalannya adalah pada saat DPR mewacanakan revisi UU Pilkada yang seirama dengan Putusan MA, sampai kemudian MK dengan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menganulir Putusan MA dengan menetapkan bahwa syarat batas usia calon kepala daerah tetap mengacu pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yaitu syarat batas usia dihitung sejak KPU ‘menetapkan sebagai calon kepala daerah’. Akan tetapi, keputusan Baleg DPR menyatakan ambang batas usia sebaliknya, yaitu ketika para Calon resmi dilantik. Mereka justru mengacu pada Putusan MA, bukan mengikuti Putusan MK sebagai dasar RUU Pilkada.

Kedua hal di atas kemudian mengukuhkan narasi peringatan darurat di mana-mana, seluruh masyarakat menggelorakannya melalui kanal-kanal media sosial dan Mahasiswa turun aksi sebagai bentuk emosional tingkat tertinggi, melihat situasi tersebut, saya kemudian menamainya sebagai ‘Ambilavensi Regulasi Demokrasi Daerah yang Berhujung Amarah’.

Pertengahan Amarah Masyarakat terhadap Situasi yang Terjadi

Sikap saya tegas tidak pernah membenarkan segala tindakan represi yang dilakukan oleh alat negara (aparat). Wajar amarah diberikan gelombang masyarakat dan mahasiswa, mengingat pilkada adalah sarana demokrasi yang sama seperti Pemilu mengingat juga sudah tidak ada lagi pemisahan antara rezim pemilu dan rezim pilkada walaupun dalam perkembangannya desain Pilkada sering bongkar pasang, akan tetapi marwah demokrasinya sekarang melalui rakyat, dan hal ini adalah niscaya.

Kembali lagi pada konteks Dinasti politik. Saya mengerti amarah yang timbul dari masyarakat lantaran dinasti politik pastinya menghadirkan persoalan dalam sirkulasi elite yang berakibat tersumbatnya partisipasi politik karena dominasi kuasa segelintir kelompok tertentu. Pertahanan kekuasaan yang dilakukan dinasti politik menjadikan sirkulasi elite tidak berjalan dengan baik.

Kekuasaan hanya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dalam satu keluarga melalui suksesi kekuasaan Pemilu atau Pilkada. Hal ini jelas berhujung pada dampak yang destruktif dari dinasti politik yakni adanya penyalahgunaan kewenangan untuk melanggengkan kepentingan keluarga.

Lebih jauh, keberadaan dinasti politik juga merupakan salah satu penyebab kompetisi antar calon dalam pemilihan berjalan tidak fair. Calon yang didukung oleh dinasti politik biasanya memiliki potensi menang lebih besar. Bagaimanapun, pada suatu dinasti politik hampir dapat dipastikan mempunyai jaringan tim pemenangan yang sudah mapan, terstruktur dan menggurita.

Intinya, calon yang berasal dari dinasti politik memiliki keunggulan dalam memenangkan kompetisi dibanding dengan calon lainnya baik karena sumber daya, popularitas, maupun jaringan elite politik dan kekuasaan yang masif untuk menggiring rakyat/pemilih memilihnya. Sehingga sudah pasti dan terang potret dinasti menambah kekhawatiran atas ketidaksetaraan dalam distribusi kekuatan politik dan dapat mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis.

Solusi Ideal Untuk Mencegah Warna-Warna Dinasti Politik dalam Kontestasi Kekuasaan Ke Depan

Ketiga, bagaimana KE DEPAN?

Menyikapi situasi saat ini, setidaknya berikut adalah beberapa rekomendasi saya ke depan untuk mengembalikan citra negara hukum yang demokratis:

1. Kesatu, Kepada perancang UU (DPR), Masukan unsur Putusan MK dalam RUU Pilkada, atau bila perlu jangan lanjutkan pembahasan RUU Pilkada, baiknya dicabut dalam agenda legislasi, mengingat Putusan MK sudah dapat menjadi dasar;

2. Kedua, Dalam ikhwal politik legislasi, mempertahankan untuk terus-terusan membentuk norma-norma yang tidak aplikatif, akan menjadi preseden buruk. Oleh karena itu, hidupkan kembali dasar-dasar pembangunan hukum melalui kajian-kajian, evaluasi dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dalam UU 25/2004, RPJPN, beserta turunan-turunannya.

3. Ketiga, Dinasti politik akan terus berpotensi subur apabila mempertahankan Putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 yang menegaskan bahwa praktik dinasti politik adalah konstitusional. Putusan ini memang menguji UU Pilkada, akan tetapi Putusan ini bisa saja berdampak tidak hanya dinasti politik demokrasi lokal, melainkan nasional. Oleh karena itu ke depan, harapannya MK dapat melakukan Overruling (Memberikan Pendapat Yudisial Baru) untuk menegasi pendapat yudisial dalam Putusan sebelumnya (Putusan No. 33/PUUXIII/2015) dan menegaskan bahwa Dinasti Politik adalah Inkonstitusional apabila ada yang mengajukan permohonan Pengujian UU sejenis;

4. Keempat, Hendaknya para penyelenggara negara dapat membenahi TAP MPR 6/2001 tentang Etika Berbangsa, agar aplikatif melalui Undang-Undang Etika Penyelenggaran Negara yang sempat redup. Mari wujudkan rezim kekuasaan yang berbasis etika. Jika itu terwujud, maka moralitas kekuasaan akan hidup.

Terakhir, saya hendak menutup dengan kesimpulan yang mengutip pandangan Michael Zinn, yaitu: The rule of law is a kind of conspiracy, and the rule of law masked the true sources of power in society (Zinn 1971). Dalam tulisannya yang cukup popular, "The Conspiracy of Law", Michael Zinn, menegaskan bahwa karakter negara yang menganut "rule of law" tidak lagi sebatas dipertentangkan dengan "rule of man", atau aturan yang disandarkan pada kepentingan penguasa. Melainkan adanya suatu jenis konspirasi dimana menempatkan rule of law telah menutupi sumber kekuasaan yang sesungguhnya di masyarakat (Herlambang P. W: 2007).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun