Mohon tunggu...
Adithya Tri Firmansyah R
Adithya Tri Firmansyah R Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengembang Hukum dan Teknisi Hukum

Learn to be Learn (Belajarlah untuk belajar menjadi terpelajar). Konten ini akan banyak memberikan suguhan tulisan yang bersifat informatif dan membuka wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aksi Peringatan Darurat: Ambivalensi Regulasi Demokrasi Daerah yang Berujung Amarah

26 Agustus 2024   17:13 Diperbarui: 29 Agustus 2024   04:16 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                           Oleh: Adithya Tri Firmansyah R 

Namun, ini adalah permasalahan awal, puncak persoalannya adalah pada saat DPR mewacanakan revisi UU Pilkada yang seirama dengan Putusan MA, sampai kemudian MK dengan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menganulir Putusan MA dengan menetapkan bahwa syarat batas usia calon kepala daerah tetap mengacu pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yaitu syarat batas usia dihitung sejak KPU ‘menetapkan sebagai calon kepala daerah’. Akan tetapi, keputusan Baleg DPR menyatakan ambang batas usia sebaliknya, yaitu ketika para Calon resmi dilantik. Mereka justru mengacu pada Putusan MA, bukan mengikuti Putusan MK sebagai dasar RUU Pilkada.

Kedua hal di atas kemudian mengukuhkan narasi peringatan darurat di mana-mana, seluruh masyarakat menggelorakannya melalui kanal-kanal media sosial dan Mahasiswa turun aksi sebagai bentuk emosional tingkat tertinggi, melihat situasi tersebut, saya kemudian menamainya sebagai ‘Ambilavensi Regulasi Demokrasi Daerah yang Berhujung Amarah’.

Pertengahan Amarah Masyarakat terhadap Situasi yang Terjadi

Sikap saya tegas tidak pernah membenarkan segala tindakan represi yang dilakukan oleh alat negara (aparat). Wajar amarah diberikan gelombang masyarakat dan mahasiswa, mengingat pilkada adalah sarana demokrasi yang sama seperti Pemilu mengingat juga sudah tidak ada lagi pemisahan antara rezim pemilu dan rezim pilkada walaupun dalam perkembangannya desain Pilkada sering bongkar pasang, akan tetapi marwah demokrasinya sekarang melalui rakyat, dan hal ini adalah niscaya.

Kembali lagi pada konteks Dinasti politik. Saya mengerti amarah yang timbul dari masyarakat lantaran dinasti politik pastinya menghadirkan persoalan dalam sirkulasi elite yang berakibat tersumbatnya partisipasi politik karena dominasi kuasa segelintir kelompok tertentu. Pertahanan kekuasaan yang dilakukan dinasti politik menjadikan sirkulasi elite tidak berjalan dengan baik.

Kekuasaan hanya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dalam satu keluarga melalui suksesi kekuasaan Pemilu atau Pilkada. Hal ini jelas berhujung pada dampak yang destruktif dari dinasti politik yakni adanya penyalahgunaan kewenangan untuk melanggengkan kepentingan keluarga.

Lebih jauh, keberadaan dinasti politik juga merupakan salah satu penyebab kompetisi antar calon dalam pemilihan berjalan tidak fair. Calon yang didukung oleh dinasti politik biasanya memiliki potensi menang lebih besar. Bagaimanapun, pada suatu dinasti politik hampir dapat dipastikan mempunyai jaringan tim pemenangan yang sudah mapan, terstruktur dan menggurita.

Intinya, calon yang berasal dari dinasti politik memiliki keunggulan dalam memenangkan kompetisi dibanding dengan calon lainnya baik karena sumber daya, popularitas, maupun jaringan elite politik dan kekuasaan yang masif untuk menggiring rakyat/pemilih memilihnya. Sehingga sudah pasti dan terang potret dinasti menambah kekhawatiran atas ketidaksetaraan dalam distribusi kekuatan politik dan dapat mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis.

Solusi Ideal Untuk Mencegah Warna-Warna Dinasti Politik dalam Kontestasi Kekuasaan Ke Depan

Ketiga, bagaimana KE DEPAN?

Menyikapi situasi saat ini, setidaknya berikut adalah beberapa rekomendasi saya ke depan untuk mengembalikan citra negara hukum yang demokratis:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun