“Aku minta cerai!” ketiknya kemudian mengirim pesan itu walau ragu awalnya. Ia menjatuhkan ponselnya ke lantai, kemudian menidurkan tubuhnya di sofa. Ia memejamkan kedua matanya dengan sisa-sisa air mata di pipinya.
***
Pagi menyambut dengan cahaya matahari yang cerah, Ryn terbangun dari tidurnya setelah mendengar Jinny yang menangis di kamar. Ia loncat dari sofa dan berlari dengan kedua mata yang sembap setelah menangis semalaman. Namun, hal itu tidak jadi masalah, kini ia sibuk menenangkan malaikat kecilnya.
Ia menggendongnya, memeluknya dengan erat, membiarkan kepala Jinny menempel di bahunya sampai kembali tertidur. Ryn menimang-nimang anaknya dengan pelan, agar Jinny bisa tenang kembali. Setelah tenang, wanita itu meletakkan anaknya kembali di atas ranjang.
Ryn pergi ke dapur, ia menatap masakan kemarin belum tersentuh sedikit pun. Wanita itu beralih menuju jendela besar yang berada di ruang tamu, dari jendela itu ia bisa melihat jalan raya yang panjang, penuh dengan kendaraan berlalu lalang di pagi hari. Kedua tangannya terlipat di depan dada, helaan napas panjang yang tiada henti menunjukkan rasa lelah.
Saat sedang termenung dalam ketenangan, suara pintu dibuka terdengar tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu. Pria bertubuh tinggi dengan rahang yang kuat. Tatanan rambut klimis terlihat terlalu rapi pagi ini. Wajah memerah dengan kening yang mengkerut, tatapan tajam mengarah pada satu objek di sana. Ia melempar tas kerjanya dengan santai ke atas sofa dan langsung menghampiri sang istri yang tidak menyambutnya sama sekali.
“Apa maksud pesanmu tadi malam? Cerai? Kenapa kau minta cerai?” tanya Ben dengan nada suara yang tinggi, tangannya mencengkeram kuat bahu Ryn.
Ryn mendongak untuk menatap wajah pria yang telah berpacaran dengannya selama dua tahun, ditambah menjadi suaminya selama tiga tahun. Rasa bosan tidak pernah muncul dalam hati dan pikirannya, setiap melihat Ben ia selalu ingin mengelus pipi pria itu lebih lama. Air mata kembali mengalir pipinya, Ryn bisa merasakan setiap lekukan di wajah pria itu. Dia selalu bertanya-tanya, bagaimana Tuhan bisa menciptkan wajah seorang manusia begitu sempurna? Tetapi dengan kekurangan yang menyakitkan?
“Kenapa? Kau mabuk?” tanya Ben sambil menghempaskan tangan Ryn dari pipinya.
“Aku sudah bersama denganmu selama tiga tahun, sebelum itu kita berpacaran selama dua tahun. Aku sudah mengenalmu selama lima tahun, dan aroma tubuhmu dalam lima tahun itu selalu sama hingga terekam jelas dalam benakku. Namun, kemarin dan hari ini, aku telah menghirup aroma yang berbeda dari tubuhmu. Aku bisa terima jika itu aroma keringat yang menyengat dan berbau asam, tapi aroma yang kuhirup adalah aroma parfum wanita yang sangat segar. Aroma yang berhasil membuatku tidak berhenti menyalahkan diri,” kata Ryn dengan isak tangis yang tertahan.
Ben terpaku, ia melepas tangannya dari bahu wanita itu. Kedua kakinya mundur secara perlahan menjauhi Ryn. Dia tertunduk, dan berkali-kali mengusap wajahnya. “Kau … kau sudah tahu?” tanyanya gugup.