Mohon tunggu...
Adinda DestianaAisyah
Adinda DestianaAisyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - All about "Sastra Indonesia"

Menulis dan membaca adalah salah satu cara untuk merangkul dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilu di Rumah Tangga

10 September 2021   20:07 Diperbarui: 10 September 2021   20:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang wanita muda yang baru berusia 28 tahun, setiap harinya selalu mengenakan pakaian sederhana, piyama lusuh atau celana kulot dan kaus tipis yang warnanya sudah memudar. 

Tak ada alasan baginya untuk mengenakan pakaian mahal dan bagus, sebab setiap harinya wanita itu hanya berada di rumah, di depan kompor, di depan mesin cuci, atau di depan anaknya yang baru berusia satu tahun.

Rambut panjang tak terurus bukan lagi hal yang penting, kulit kusam dan kering bukan lagi masalah, yang terpenting hanyalah mengurus suami, anak, dan rumah dengan baik. 

Begitulah aktivitas Ryn setelah menjadi seorang istri dan ibu. Masa muda yang bahagia bukan lagi tujuan hidupnya, menjadi istri yang baik dan ibu yang berguna adalah tujuannya sekarang.

Jinny Si Manis berkulit putih yang sedari tadi merengek di punggung kecil Ryn, sejak tadi malam suhu tubuhnya memang sedang naik, muncul ruam merah di sekitar pangkal pahanya. Ryn sudah memberikan obat dan membawa anak perempuannya itu ke rumah sakit, tetapi kondisinya belum kunjung membaik.

Dengan gendongan kain yang menggantung di bahunya, sembari memasak untuk makan malam suami yang sedang mencari nafkah di luar. Sesekali wanita itu menaik turunkan tubuhnya untuk menenangkan sang anak yang masih rewel di punggungnya. Tubuhnya mondar-mandir antara dapur dan kamar mandi. Cucian yang ada di mesin cuci pun harus dibereskan. Ada tiga ember baju-baju kotor yang harus dicuci hari ini.

Karena dua hari berturut-turut Ryn hanya memperhatikan Jinny yang sedang sakit, alhasil semua pekerjaan rumah menumpuk. Kedua pergelangan tangannya sudah tertempel koyok begitupun dengan punduk dan lututnya. Sudah terlalu banyak koyok menempel di tubuhnya yang kecil dan kurus. Rehat sejenak untuk mengambil napas pun terasa sulit baginya.

Ryn mematikan kompornya setelah sayur yang dimasaknya matang dengan sempurna. Semua makanan telah tersaji dengan di meja makan kecil untuk empat orang, wanita itu beralih ke kamar mandi, menyelesaikan dua ember lagi pakaian yang belum dicuci.

“Sebentar ya, Nak. Ibu sebentar lagi selesai,” katanya lembut sambil menepuk pelan punggung Jinny yang berada di belakangnya. Ia belum bisa meletakkan Jinny sendirian di kamar, sebab anaknya itu pasti akan menangis. Jadi Ryn harus membawa anak perempuannya itu ke mana-mana, dan selalu berada di punggungnya.

Sejenak wanita itu terhenti saat pinggangnya terasa sangat sakit, perlahan dia meregangkan otot-ototnya yang menegang karena rasanya sangat sakit. Sambil menaruh pakaian kotor ke dalam mesin cuci, sebelah tangannya sibuk memijat pinggangnya yang sakit. Wanita itu menjalani semua aktivitasnya tanpa jeda dan tanpa mengeluh, bahkan ia masih bisa tersenyum di depan Jinny seakan tak ingin menunjukkan rasa lelah pada buah hatinya itu.

Namun senyumannya luntur seketika saat kedua matanya mendapati sesuatu yang asing di kemeja kerja sang suami. Ia mematung di tempatnya dan menatap kemeja berwarna biru muda itu dengan serius, didekatkannya kemeja itu ke depan mata dan perkiraannya tak salah lagi. 

Sebuah tanda bibir dengan lipstik merah cerah terdapat di bagian dada kemeja itu. Seketika rasa lelah di tubuh Ryn semakin menjadi-jadi, hatinya hancur berkeping-keping dan berjatuhan di lantai. 

Seketika wanita itu sulit untuk bernapas, sampai berdiri pun harus bertumpu pada mesin cuci di hadapannya. Kekuatannya hilang seketika.

Ia mengendus kemeja itu, terhirup aroma parfum wanita yang begitu menyengat. Seperti baru tertempel di sana, masih terasa segar dan jelas. Sangat jelas bahwa parfum itu adalah parfum wanita. Tangan Ryn melemah sampai menjatuhkan kemeja berwarna itu ke lantai. Pikirannya membuntu, tak bisa menebak apa yang sedang terjadi pada hubungan rumah tangganya.

***

Sambil memijat lehernya, wanita itu melirik sejenak ke arah kamar yang pintunya sengaja dibuka. Kedua matanya menatap lirih ke arah Jinny yang sudah tertidur pulas di atas ranjang.

 Dari ambang pintu, Ryn menatap sang buah hati dengan penuh kasih sayana. Rasa bersalah muncul dalam benaknya, karena dirasa belum bisa menjadi ibu yang sempurna untuk malaikat kecilnya tersebut.

Wanita itu berlalu dan pergi ke ruang tamu, tempat itu hampir menjadi tempat yang asing baginya, karena terlalu sering berada di dapur atau kamar mandi. Dia melihat ke arah jam dinding besar di ruang tamu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 dan sang suami belum juga pulang.

“Apa dia tidak pulang lagi?” tanyanya dalam hati sambil melirik ponsel yang sepi tanpa ada pesan atau panggilan masuk. Sudah terlalu sering sang suami tidak pulang tanpa memberi kabar, saat dihubungi pun tidak ada jawaban.

Ryn menjatuhkan tubuhnya di atas sofa kulit berwarna cokelat tua, ia melipat kedua kakinya di depan dada dan memeluknya erat, ia meletakkan dagunya di atas lutut. Merenung dengan kedua mata yang berkaca-kaca, dipandangnya dari kejauhan foto pernikahan yang bahagia. Kala itu senyumannya sangat lebar, dan berharap selalu seperti itu sampai ajal memisahkan. Namun, nyatanya baru berusia 3 tahun senyuman wanita itu sudah luntur.

Tanpa sadar air matanya jatuh perlahan di pipi, ia menangis tersedu-sedu dalam keheningan. Tak ada yang bisa menenangkannya, ia merasakan sakit hati itu sendirian. Tidak ada yang bisa dijadikan pelampiasan, ia menyiksa dirinya sendirian. Dipandangnya cincin pernikahan di jari manis, ia baru sadar bahwa sang suami sering kali terlihat tidak mengenakan cincin pernikahan di jarinya.

Ryn menyalakan ponselnya, dalam sekejap terpampang foto Jinny yang menggemaskan di layar berukurkan 6,3 inchi itu. Ia membuka kotak pesan dan mengetik sebuah pesan baru yang ditujukan untuk sang suami. Dengan jari-jari yang sedikit bergetar, ia mengetik kata demi kata yang hari ini menyiksa pikirannya.

“Aku minta cerai!” ketiknya kemudian mengirim pesan itu walau ragu awalnya. Ia menjatuhkan ponselnya ke lantai, kemudian menidurkan tubuhnya di sofa. Ia memejamkan kedua matanya dengan sisa-sisa air mata di pipinya.

***

Pagi menyambut dengan cahaya matahari yang cerah, Ryn terbangun dari tidurnya setelah mendengar Jinny yang menangis di kamar. Ia loncat dari sofa dan berlari dengan kedua mata yang sembap setelah menangis semalaman. Namun, hal itu tidak jadi masalah, kini ia sibuk menenangkan malaikat kecilnya.

Ia menggendongnya, memeluknya dengan erat, membiarkan kepala Jinny menempel di bahunya sampai kembali tertidur. Ryn menimang-nimang anaknya dengan pelan, agar Jinny bisa tenang kembali. Setelah tenang, wanita itu meletakkan anaknya kembali di atas ranjang.

Ryn pergi ke dapur, ia menatap masakan kemarin belum tersentuh sedikit pun. Wanita itu beralih menuju jendela besar yang berada di ruang tamu, dari jendela itu ia bisa melihat jalan raya yang panjang, penuh dengan kendaraan berlalu lalang di pagi hari. Kedua tangannya terlipat di depan dada, helaan napas panjang yang tiada henti menunjukkan rasa lelah.

Saat sedang termenung dalam ketenangan, suara pintu dibuka terdengar tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu. Pria bertubuh tinggi dengan rahang yang kuat. Tatanan rambut klimis terlihat terlalu rapi pagi ini. Wajah memerah dengan kening yang mengkerut, tatapan tajam mengarah pada satu objek di sana. Ia melempar tas kerjanya dengan santai ke atas sofa dan langsung menghampiri sang istri yang tidak menyambutnya sama sekali.

“Apa maksud pesanmu tadi malam? Cerai? Kenapa kau minta cerai?” tanya Ben dengan nada suara yang tinggi, tangannya mencengkeram kuat bahu Ryn.

Ryn mendongak untuk menatap wajah pria yang telah berpacaran dengannya selama dua tahun, ditambah menjadi suaminya selama tiga tahun. Rasa bosan tidak pernah muncul dalam hati dan pikirannya, setiap melihat Ben ia selalu ingin mengelus pipi pria itu lebih lama. Air mata kembali mengalir pipinya, Ryn bisa merasakan setiap lekukan di wajah pria itu. Dia selalu bertanya-tanya, bagaimana Tuhan bisa menciptkan wajah seorang manusia begitu sempurna? Tetapi dengan kekurangan yang menyakitkan?

“Kenapa? Kau mabuk?” tanya Ben sambil menghempaskan tangan Ryn dari pipinya.

“Aku sudah bersama denganmu selama tiga tahun, sebelum itu kita berpacaran selama dua tahun. Aku sudah mengenalmu selama lima tahun, dan aroma tubuhmu dalam lima tahun itu selalu sama hingga terekam jelas dalam benakku. Namun, kemarin dan hari ini, aku telah menghirup aroma yang berbeda dari tubuhmu. Aku bisa terima jika itu aroma keringat yang menyengat dan berbau asam, tapi aroma yang kuhirup adalah aroma parfum wanita yang sangat segar. Aroma yang berhasil membuatku tidak berhenti menyalahkan diri,” kata Ryn dengan isak tangis yang tertahan.

Ben terpaku, ia melepas tangannya dari bahu wanita itu. Kedua kakinya mundur secara perlahan menjauhi Ryn. Dia tertunduk, dan berkali-kali mengusap wajahnya. “Kau … kau sudah tahu?” tanyanya gugup.

Ryn menatap tajam kepada sang suami, kedua matanya membulat besar dengan sisa-sisa air mata di setiap sisi. “Kau tidak menyangkalnya?” Nada suara wanita itu mulai meninggi, hatinya terasa remuk berkali-kali.

“Maafkan aku!” kata Ben sambil meraih tangan Ryn dan menggenggamnya.

“Tidak! Tidak ada wanita di dunia ini yang bisa memaafkan perselingkuhan suaminya!” kata Ryn sambil menangkis kasar tangan Ben yang sudah terasa menjijikan.

“Tapi aku masih mencintaimu, Ryn!” serunya sambil mencoba meraih tangan Ryn lagi, walau wanita itu cepat-cepat menjauhkan tangannya.

“Kalau begitu, tinggalkan dia!” kata Ryn menantang.

Ben terdiam sejenak, “Tidak bisa! Aku juga cinta dia!” jawab Ben santai tanpa merasa bersalah.

Ryn menatap tak percaya pada pria yang masih dicintainya itu. Ia menghapus air matanya dengan sebelah tangan, dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. “Pergilah! Aku yang akan mengurus surat-suratnya sendiri!” serunya sambil membanting pintu kamar dengan keras.

“Tapi!” susul Ben walau langkahnya terhenti oleh pintu yang tertutup.

“Pergilah! Atau kubuat kau pergi dari dunia ini!” teriak Ryn dari dalam kamarnya. Emosi sudah terlalu menguasai pikirannya.

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun