Joko Pinurbo atau yang lebih dikenal dengan (Jokpin) adalah salah satu penyair terkenal di tanah air. Penyair yang lahir pada 11 Mei 1962 ini banyak melahirkan karya-karya sastra dengan gaya kepenulisannya yang khas. Salah satu karyanya yang dikenal oleh masyarakat luas adalah puisi berjudul "Kamus Kecil" dengan tema seputar kehidupan.
Kamus Kecil, Joko PinurboÂ
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
walau kadang rumit dan membingungkan.
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira,
sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembira;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa manusia belajar cinta dari monyet;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundahÂ
membawaku ke sebuah paragraf yang tersusun di atas tubuhmu. Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk bertingkat yang panjang di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang, anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung. Ruang penuh raung, segala kenang tertidur di dalam kening. Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
Puisi "Kamus Kecil" karya Joko Pinurbo bukanlah puisi yang dibuat saat senja atau puisi yang membutuhkan secangkir kopi hitam untuk sekedar teman mencari sebuah ilham. Puisi ini adalah hasil dari pembedahan kamus bahasa Indonesia yang dalam prosesnya membutuhkan waktu lama karena Joko Pinurbo harus menyusun daftar kata-kata dari kamus tersebut hingga pada akhirnya dari sinilah puisi ini lahir. Jika kita kaitkan antara judul dengan latar belakang puisi ini dibuat maka keduanya saling terhubung, judul "Kamus Kecil" adalah bentuk implementasi Joko Pinurbo atas temuannya dalam kamus bahasa Indonesia yang ia ramu dengan bahasa sederhana namun penuh esensi.Â
Dimulai dari "Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu"
Pada kutipan di atas penyair menggambarkan kehidupan aku lirik yang lahir dan tumbuh dengan berbahasa. Disebutkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Meskipun pada praktiknya berbahasa itu rumit tetapi dari sanalah aku lirik mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan jawaban atas semua ketidaktahuannya. Hal ini diungkapkan penyair pada penggalan berikut
"... walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu... "
Kepiawaian Joko Pinurbo dalam bermain kata juga patut diacungi jempol, keinginannya menyampaikan makna kasih dan harapan dengan seringkas mungkin sampai kepada pembaca. Terbukti pada setiap larik dalam kutipan puisi berikutÂ
"...bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan..."
Dapat dilihat bahwa penyair memilih diksi dengan irama yang hampir serupa namun terhubung maknanya. Tujuannya untuk menambah daya ekspresivitas dalam puisinya dan menarik atensi pembaca sehingga banyak orang langsung jatuh cinta dengan keindahan diksi yang penyair suguhkan.Â
"...bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tak mudah marah..."
Adapun makna dari larik di atas yaitu menggambarkan sifat positif manusia. Pemilihan diksi yang bertentangan seolah sengaja penyair bentuk dengan tujuan mempermudah pemaknaannya. Pada larik pertama disebutkan bahwa pada harfiahnya seorang ibu tidak akan kehilangan kasihnya, bahwa ibu dan iba adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pada larik selanjutnya disebutkan bahwa segala perbuatan baik yang kita lakukan maka akan menuai kebaikan juga di kemudian hari. Pada larik terakhir dideskripsikan seseorang yang memiliki sifat ramah cenderung sabar dan tidak mudah marah.Â
Jika ditelaah kembali Joko Pinurbo mencoba menyelipkan sebuah semangat kepada pembacanya, mari kita simak larik berikut
"...bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan..."
Pada larik pertama penyair memberi pesan bahwa dalam kehidupan ini jika kita ingin menjadi bintang ataupun seseorang yang sukses maka jangan mudah menyerah dan usaha yang kita lakukan nantinya akan berbuah manis. Pada larik kedua terselip semangat untuk seseorang agar selalu gigih dalam melakukan sesuatu supaya kedepannya bisa menjadi seseorang yang dihargai oleh sekitar. Pada larik ketiga digambarkan seseorang yang terlalu banyak bicara seringkali tak berilmu. Pada lirik terakhir penyair mencoba menggambarkan ketakutan manusia terhadap hantu atau makhluk gaib cenderung lebih besar daripada ketakutannya terhadap Sang Pencipta.
Penyair juga mencoba memberi penggambaran perasaan seseorang dalam larik berikutÂ
"...bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira,
sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembira;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa manusia belajar cinta dari monyet;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman..."
Pada larik pertama dan kedua terdapat subjek yang berbeda yaitu pemurung dan pemulung tetapi keduanya penyair gambarkan memiliki perasaan yang cenderung gundah dan tak pernah bahagia. Pada larik ketiga ada permainan diksi antara lidah dan dalih tersirat juga makna yang coba penyair sampaikan pada larik tersebut yang jika kita pahami memang benar bahwa segala percakapan selalu dimulai dari lidah entah itu saat membuat penyataan atau bahkan melakukan perdebatan. Pada larik selanjutnya dera didefinisikan sebagai hukuman atau kemarahan dan hal itu akan mereda saat ada kasih atau cinta didalamnya. Pada larik kelima disebutkan sejarah adanya cinta itu berawal dari monyet. Pada larik keenam ada penggambaran mengenai keputusasaan seseorang yang seringkali membuat orang yang mengalaminya berucap kasar. Pada lirik terakhir terselip refleksi tentang keimanan seseorang yang diyakini selalu membuat aman manusia dalam menjalani kehidupan.
Pada bait terakhir puisi ini ada penggambaran yang ditekankan yaitu mengenai kalimat majemuk. Adapun permainan kata dalam setiap larik yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Akhirnya tidak ada kehilangan dalam puisi ini, selalu ada jalan lain selain meninggalkan, selalu ada kata kembali asal tahu jalan pulang.Â
Selamat ibadah puisi,
Semoga Tuhan menyertai.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI