Mohon tunggu...
Adinda Silvara Al Zahra
Adinda Silvara Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Al Azhar Indonesia

Saya suka membaca dan mempelajari agama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Romantic Rejection Berujung Romantic Obsession?

17 Juli 2024   13:49 Diperbarui: 17 Juli 2024   15:06 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap orang cenderung memiliki sikap positif terhadap pemberian dari seseorang yang mengaguminya pada batas tertentu. Namun, bayangkan jika seseorang terus berusaha meraih dirimu, baik di dunia nyata maupun dunia maya, hanya untuk mendapatkan perhatianmu. 

Mulai dari mengikutimu sampai membuat ratusan akun sosial media (sehingga kamu selalu berusaha menghindari dengan cara memblokirnya), membelikan berbagai macam hal favoritmu di hari ulang tahunmu sampai menggugahnya di media sosial, berusaha untuk bertemu denganmu, hingga di momen-momen tertentu membuat tulisan mengenai dirimu sebagai bentuk perwujudan dari fantasi liar dalam konteks yang tidak pantas. 

Bagaimana perasaan dan tanggapanmu menjadi 'bahan kejaran' seseorang yang terlampau mengagumi dirimu? Merasa tidak nyaman dan akan berusaha menghindarinya, bukan? Sekarang bayangkan jika hal tersebut terjadi padamu selama bertahun-tahun. Bukankah kamu akan merasa diteror alih-alih dikagumi?

Beberapa bulan ke belakang, salah satu platform media sosial sempat ramai dengan perbincangan mengenai seorang wanita yang membagikan ceritanya yang menjadi sasaran obsesi oleh seorang pemuda yang diketahui merupakan salah seorang teman dari sekolahnya dulu.

Pada artikel ini kita akan melihat dan berfokus pada perilaku korban pelaku melalui kacamata psikologis.

Dari informasi yang tersedia, pelaku menunjukkan perilaku obsesif dalam kegiatan mengirimkan pesan dan mengunggah tulisan-tulisan yang secara khusus dan berulang ditujukan untuk korban. Tindakan pelaku dapat dipandang sebagai bentuk obsesi. Menurut KBBI, obsesi merupakan gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sukar dihilangkan. Nimas (korban) mengungkapkan awal mula Adi (pelaku) menjadi obsesi dikarenakan korban pernah menghampiri pelaku dan menanyakan alasannya tidak pergi ke kantin. Saat itu pelaku sedang tidak menggenggam uang untuk membeli makan sehingga Nimas berinisiatif memberikan uang senilai lima ribu sebagai bentuk simpati dan pertolongan. Dalam istilah psikologi, tindakan Nimas dapat dikatakan sebagai altruisme, yaitu suatu perilaku yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan langsung. Namun, tampaknya kebaikan Nimas tersebut disalahartikan oleh Adi dan sebaliknya ditangkap sebagai perlakuan khusus (sebagaimana seorang perempuan tertarik dengan seorang laki-laki) yang nahasnya, benih cinta pun bersemi dalam diri Adi tanpa Nimas sadari. Pada salah satu balasan di kolom komentar akunnya, Nimas sempat mengklaim dirinya sebagai hanya seorang ekstrovert. Belum lama cerita Nimas menjadi perhatian mayoritas publik dunia maya, seorang pemuda muncul dengan sebuah thread, mengaku sebagai salah satu teman kelas Nimas semasa sekolah dan mendukung klaim Nimas dengan menjelaskan bahwa Nimas memang dikenal sebagai anak yang aktif bergaul di lingkungan sekolahnya sementara Adi dikenal sebagai anak yang tertutup dan jarang berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga di lain sisi termasuk murid yang pintar di kelas. Orang yang bersaksi tersebut bahkan mengatakan bahwa, selain Nimas, banyak orang yang peduli padanya dan berusaha mengajaknya berkomunikasi. Namun, seolah-olah kepedulian dari teman-temannya yang lain hanyalah sebatas angin lalu, perhatian Adi terfokuskan pada satu kepedulian Nimas yang diwujudkan dalam perilaku memberi uang hingga, tanpa disadari, timbul obsesi dalam diri Adi.

Aspek Trait

Melalui lensa dari aspek trait kepribadian, suatu perilaku bisa terjadi karena adanya motif/dorongan yang disebut Henry Murray sebagai need. Murray mengelompokkan need ke dalam empat bagian: need for achievement, need for affiliation, need for power, dan need for exhibition. Dalam kasus yang sedang kita bahas, perilaku Adi dapat dikonsiderasi sebagai hasil dari salah satu motif/need yang berperan, yaitu need for exhibition. Seseorang dengan tingkat need for exhibition yang tinggi cenderung mempertunjukkan diri di hadapan orang lain, berusaha menjadi menyenangkan, bahkan mengagetkan orang lain. Akan tetapi, perilaku yang didasarkan pada kebutuhan akan eksibisi yang berlebihan juga dapat menganggu dan membuat orang lain merasa tidak nyaman bahkan cemas dan ketakutan. Nimas melihat situasinya sebagai kondisi yang dirugikan karena perilaku obsesi Adi dinilai sebagai ancaman yang mengusik dan bahkan telah sampai pada tingkat yang bisa dikatakan lebih ekstrem, yaitu meneror.

Apakah kepribadian yang tertutup serta kurangnya kemampuan bersosialisasi bisa menjadikan seseorang terobsesi mendapatkan cinta meskipun telah mengalami penolakan berkali-kali?

Romantic Rejection

Keadaan Adi dapat dikenal dengan romantic rejection yang kemudian menjadi romantic obsession/obsessive love. Pengalaman romantic rejection bisa memiliki dampak fisik pada otak. Dalam studi mengenai reward, adiksi, dan sistem regulasi emosional diasosiasikan dengan romantic rejection. Walaupun research mengenai hal ini masih berlangsung, selain otak, peneliti menemukan bahwa penolakan, breakups, dan bentuk trauma emosional lainnya bisa mengakibatkan kerusakan sementara bagi jantung. Pada kondisi yang dikenal dengan takotsubo cardiomyopathy, atau "sindrom broken heart", orang-orang umumnya mengalami chest pain, pengaturan nafas yang singkat, dan gejala lainnya yang disebabkan oleh pelemehan bilik kiri jantung.

Selain itu, kondisi kecanduan memiliki hubungan yang erat dengan gaya keterikatan. Gaya keterikatan dapat mempengaruhi seberapa besar seseorang terjebak pada seseorang yang tidak menginginkannya. Orang dengan gaya keterikatan dependen (juga dikenal sebagai gaya keterikatan kodependen atau cemas) dibiasakan untuk mencari orang yang akan menyebabkan mereka sakit. Dengan kata lain, mereka memperoleh sensasi menantang dari rasa sakit tersebut sehingga mereka terdorong untuk tidak menyerah dalam usaha untuk mendapatkan penerimaan akan cinta dari orang lain. Tingkat keterikatan yang tinggi ini berpotensi menjadi penyebab munculnya romantic obsession/obsessive love.

Obsessive Love

Obsessive love dapat berasal dari proses pembelajaran sosial dan efek budaya. Pengalaman perkembangan seperti pembentukan keterikatan sosial pada masa kanak-kanak dapat menghasilkan cinta obsesif (Susman, 2010). Dengan kata lain, kurangnya kemampuan bersosialisasi dapat menjadi satu trigger yang mewadahi kemungkinan seseorang berperilaku impulsif dan obsesif akibat dari pengalaman pembelajaran sosial yang rendah, seperti terlalu menutup diri dari berinteraksi dengan orang lain. Banyak psikolog percaya bahwa model cinta obsesif mirip dengan/sama seperti kecanduan narkoba kecanduan/penyalahgunaan narkoba (Reynaud, Karila, Blecha & Benyamina, 2010). Artinya, dibutuhkan tekat yang kuat dari seorang individu untuk bersedia berubah serta pengaruh lingkungan yang positif untuk mendukungnya dalam merubah sikap serta perilaku seseorang yang terjebak dalam romantic obsession/obsessive love.

Kemudian salah satu dari kita barangkali bertanya, apakah ada pengaruh gen yang berperan atau pengaruh lingkungan dalam pembentukan karakternya?

Aspek Behaviorisme, Kognitif, dan Gaya Eksplanatori

Pada aspek behaviorisme, Skinner mengatakan bahwa peran dari faktor-faktor biologis adalah untuk menentukan tentang respons yang dapat organisme lakukan dan kemampuan organisme untuk memperkuat perilakunya dengan menggunakan peristiwa-peristiwa di lingkungan, tetapi ia menekankan bahwa faktor lingkungan lah yang terpenting karena lingkungan memilih perilaku yang mendukung terjadinya prokreasi dan pertahanan hidup. Singkatnya, pengaruh faktor biologis tidak akan tumbuh tanpa adanya dukungan/peran dari faktor lingkungan.

Selain itu, pada aspek kognitif kita mengenal sebuah model persepsi umum yang digunakan untuk memahami lingkungan, yaitu gaya eksplanatori --- yang merujuk pada sebuah susunan variabel kepribadian kognitif yang menjelaskan metode umum yang digunakan untuk menginterpretasikan kejadian dalam hidupnya. Terdapat dua jenis dari gaya eksplanatori ini: optimisme dan pesimisme. Orang dengan gaya eksplanatori optimis cenderung menginterpretasikan kejadian dalam kehidupan mereka melalui perspektif yang positif dan melihat adanya potensi hasil akhir yang positif dari suatu kejadian negatif. Sebaliknya, orang dengan gaya pesimis cenderung pada kemungkinan hasil akhir yang negatif dari suatu situasi.

Kita bisa mengkonsiderasi perilaku Adi sebagai contoh dari pendekatan gaya eksplanatori yang berpusat pada optimisme, yang membuat Adi memandang rejection dari Nimas sebagai kesempatan (positif) untuk terus berusaha meraih dan mendekati Nimas hingga mencapai tujuannya, yaitu memperoleh perhatian Nimas, namun di kasus ini tujuan tersebut terlalu sulit untuk terjadi akibat adanya obsesi yang menghalangi tujuan Adi.

Locus of Control

Teori Rotter yang cukup terkenal, yaitu konsep locus of control, mengukur keyakinan individu tentang penentu perilakunya. Rotter melihatnya sebagai variabel perbedaan individual yang memiliki dua dimensi (internal dan eksternal). Orang dengan internal locus of control berorientasi pada keberhasilan karena menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif sedangkan orang dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1998; Rotter, 1954).

Kita bisa juga mempertimbangkan perilaku Adi yang disebabkan oleh peran internal locus of control, keyakinan bahwa apa yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dikendalikan dan bisa merupakan hasil yang berasal dari dalam diri seseorang. Adi merasa "yakin" dengan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bisa memperoleh perhatian Nimas. Akan tetapi, ia sendiri tidak menyadari perilaku berulangnya tersebut jatuh pada definisi perilaku obsesif sehingga berujung mengganggu dan menjadi sesuatu yang meneror bagi Nimas. Dalam artikel ini, kita hanya mencoba menjelaskan dari sudut pandang psikologis yang terbatas. Pada akhirnya, perilaku obsesi yang terpelihara hingga bertahun-tahun tentunya berhak mendapatkan perhatian dari para ahli/pakar kejiwaan untuk membantu seseorang mendapatkan penanganan yang tepat sehingga diharapkan bisa menemukan jalan keluar yang sehat bagi individu dengan obsesi.

Terlepas dari apakah individu murni terobsesi dengan seseorang yang menjadi trigger bagi munculnya obsesi tersebut atau dengan dampak/hasil yang disebabkan oleh orang tersebut, yang jelas pada kasus yang tidak bisa digeneralisasi, satu perbuatan baik memberikan efek yang luar biasa besar dan bahkan bersifat tahan lama, seperti seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mengalami obsesi. Pada kondisi yang ekstrem hal tersebut mampu mengubah karakter/kepribadian seseorang. Singkatnya, satu kejadian berpotensi mendorong seseorang untuk bersikap dan menunjukkan perubahan secara signifikan pada dirinya jika kejadian tersebut memiliki kesan yang berbekas.

REFERENCE

Friedman, H., & Schustack, M. (2016). Personality: Classic Theories and Modern Research (6th Edition). London: Pearson Education.

https://satupersen.net/blog/apa-itu-altruisme-mengapa-manusia-melakukan-hal-hal-baik, diakses pada 18 Mei 2024, pukul 21.35.

https://www.psychologytoday.com/us/articles/201501/the-obsessed-lover, diakses pada 18 Mei 2024, pukul 23.00.

https://hms.harvard.edu/news-events/publications-archive/brain/love-brain, diakses pada 18 Mei 2024, pukul 23.26.

https://www.betterhelp.com/advice/rejection/dealing-with-romantic-rejection-six-strategies-to-heal-and-move-on/, diakses pada 21 Mei 2024, pukul 20.18.

Set Z. (2019). Potential Regulatory Elements Between Attachment Styles and Psychopathology: Rejection Sensitivity and Self-esteem. Noro psikiyatri arsivi, 56(3), 205--212. https://doi.org/10.29399/npa.23451

Hazan, C., & Shaver, P. R. (1987). Romantic Love Conceptualized as an Attachment Process. Journal of Personality and Social Psychology, 52, 511--524. http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.52.3.511

Ahmadi, V., Davoudi, I., Ghazael, M., Mardani, M., & Seifi, S. (2013). Prevalance of obsessive love and its association with attachment styles. Procedia --- Social and Behavioral Sciences, 84, 696--700. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.629

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun