Mohon tunggu...
Adinda Silvara Al Zahra
Adinda Silvara Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Al Azhar Indonesia

Saya suka membaca dan mempelajari agama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Romantic Rejection Berujung Romantic Obsession?

17 Juli 2024   13:49 Diperbarui: 17 Juli 2024   15:06 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selain itu, kondisi kecanduan memiliki hubungan yang erat dengan gaya keterikatan. Gaya keterikatan dapat mempengaruhi seberapa besar seseorang terjebak pada seseorang yang tidak menginginkannya. Orang dengan gaya keterikatan dependen (juga dikenal sebagai gaya keterikatan kodependen atau cemas) dibiasakan untuk mencari orang yang akan menyebabkan mereka sakit. Dengan kata lain, mereka memperoleh sensasi menantang dari rasa sakit tersebut sehingga mereka terdorong untuk tidak menyerah dalam usaha untuk mendapatkan penerimaan akan cinta dari orang lain. Tingkat keterikatan yang tinggi ini berpotensi menjadi penyebab munculnya romantic obsession/obsessive love.

Obsessive Love

Obsessive love dapat berasal dari proses pembelajaran sosial dan efek budaya. Pengalaman perkembangan seperti pembentukan keterikatan sosial pada masa kanak-kanak dapat menghasilkan cinta obsesif (Susman, 2010). Dengan kata lain, kurangnya kemampuan bersosialisasi dapat menjadi satu trigger yang mewadahi kemungkinan seseorang berperilaku impulsif dan obsesif akibat dari pengalaman pembelajaran sosial yang rendah, seperti terlalu menutup diri dari berinteraksi dengan orang lain. Banyak psikolog percaya bahwa model cinta obsesif mirip dengan/sama seperti kecanduan narkoba kecanduan/penyalahgunaan narkoba (Reynaud, Karila, Blecha & Benyamina, 2010). Artinya, dibutuhkan tekat yang kuat dari seorang individu untuk bersedia berubah serta pengaruh lingkungan yang positif untuk mendukungnya dalam merubah sikap serta perilaku seseorang yang terjebak dalam romantic obsession/obsessive love.

Kemudian salah satu dari kita barangkali bertanya, apakah ada pengaruh gen yang berperan atau pengaruh lingkungan dalam pembentukan karakternya?

Aspek Behaviorisme, Kognitif, dan Gaya Eksplanatori

Pada aspek behaviorisme, Skinner mengatakan bahwa peran dari faktor-faktor biologis adalah untuk menentukan tentang respons yang dapat organisme lakukan dan kemampuan organisme untuk memperkuat perilakunya dengan menggunakan peristiwa-peristiwa di lingkungan, tetapi ia menekankan bahwa faktor lingkungan lah yang terpenting karena lingkungan memilih perilaku yang mendukung terjadinya prokreasi dan pertahanan hidup. Singkatnya, pengaruh faktor biologis tidak akan tumbuh tanpa adanya dukungan/peran dari faktor lingkungan.

Selain itu, pada aspek kognitif kita mengenal sebuah model persepsi umum yang digunakan untuk memahami lingkungan, yaitu gaya eksplanatori --- yang merujuk pada sebuah susunan variabel kepribadian kognitif yang menjelaskan metode umum yang digunakan untuk menginterpretasikan kejadian dalam hidupnya. Terdapat dua jenis dari gaya eksplanatori ini: optimisme dan pesimisme. Orang dengan gaya eksplanatori optimis cenderung menginterpretasikan kejadian dalam kehidupan mereka melalui perspektif yang positif dan melihat adanya potensi hasil akhir yang positif dari suatu kejadian negatif. Sebaliknya, orang dengan gaya pesimis cenderung pada kemungkinan hasil akhir yang negatif dari suatu situasi.

Kita bisa mengkonsiderasi perilaku Adi sebagai contoh dari pendekatan gaya eksplanatori yang berpusat pada optimisme, yang membuat Adi memandang rejection dari Nimas sebagai kesempatan (positif) untuk terus berusaha meraih dan mendekati Nimas hingga mencapai tujuannya, yaitu memperoleh perhatian Nimas, namun di kasus ini tujuan tersebut terlalu sulit untuk terjadi akibat adanya obsesi yang menghalangi tujuan Adi.

Locus of Control

Teori Rotter yang cukup terkenal, yaitu konsep locus of control, mengukur keyakinan individu tentang penentu perilakunya. Rotter melihatnya sebagai variabel perbedaan individual yang memiliki dua dimensi (internal dan eksternal). Orang dengan internal locus of control berorientasi pada keberhasilan karena menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif sedangkan orang dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1998; Rotter, 1954).

Kita bisa juga mempertimbangkan perilaku Adi yang disebabkan oleh peran internal locus of control, keyakinan bahwa apa yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dikendalikan dan bisa merupakan hasil yang berasal dari dalam diri seseorang. Adi merasa "yakin" dengan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bisa memperoleh perhatian Nimas. Akan tetapi, ia sendiri tidak menyadari perilaku berulangnya tersebut jatuh pada definisi perilaku obsesif sehingga berujung mengganggu dan menjadi sesuatu yang meneror bagi Nimas. Dalam artikel ini, kita hanya mencoba menjelaskan dari sudut pandang psikologis yang terbatas. Pada akhirnya, perilaku obsesi yang terpelihara hingga bertahun-tahun tentunya berhak mendapatkan perhatian dari para ahli/pakar kejiwaan untuk membantu seseorang mendapatkan penanganan yang tepat sehingga diharapkan bisa menemukan jalan keluar yang sehat bagi individu dengan obsesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun