Senyumku mengembang, air mata yang tadi kutahan menetes dengan sendirinya, "Tarimo Kasih abang untuk semuanya."
Kakakku membalas dengan sebuah pelukan hangat dan bangga.
Sekolah mulai berjalan dengan semestinya, sekolah ini merupakan sebuah terobosan bagi pendidikan kaum perempuan. Dua temanku, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara aku merangkap sebagai guru dan pimpinan. Awalnya, murid yang sekolah hanya 71 orang yang terdiri dari ibu-ibu muda. Mereka semua belajar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab. Dengan semua kesabaranku akhirnya seiring berjalannya waktu, murid yang sekolah bertambah, dari yang awalnya 71 menjadi 200 dan menjadi dua kali lipatnya. Semakin banyak perempuan yang peduli terhadap pendidikan, dan mengerti pentingnya pendidikan. Tak lama setelah itu, namaku dan Diniyah Putri melambung.
Namun, perjuanganku belum berhenti disitu saja. Setahun dari dibangunnya Diniyah Putri, kakakku pergi meninggalkanku.
Perjalanan Diniyah putri juga menghadapi beberapa cobaan. Pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padangpanjang, meruntuhkan gedung lama sekolah. Diniyah Putri terpaksa dihentikan setelah binasa oleh gempa bumi sehingga sekolah itu menuntut perhatian sepenuhnya dariku. Sekolah yang dulunya tegap berdiri berubah menjadi puing-puing bangunan karena gempa. Nanisah, salah satu temanku dan juga seorang guru di sekolah, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan.Gempa bumi mengakibatkan kegaiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padangpanjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota. Aku menyaksikan orang-orang meninggalkan Padangpanjang. Betapa sepinya Padangpanjang kala itu. Aku tidak menyerah pada takdir. Bersama kaum laki-laki, aku memanggul batu untuk membangun kembali sekolah kakakku. Aku tidak boleh mudah menyerah, karena sekolah ini adalah amanat dari kakakku, aku harus mempertahankan sekolah ini bagaimanapun keadaanya.
Melihat gedung yang dibangun oleh jerih payahku dulu kini runtuh begitu saja karena gempa, rasanya sesak. Gedung yang dulu ku tatap pertama kalinya sangatlah kokoh tegap berdiri berwarna putih bersih, kini hanyalah berupa batu-batu yang tidak berbentuk.
"Bagaimana ini Rahmah semuanya sudah hancur, teman kita pun Nanisah sudah tiada," ucap Djawana Basyir salah satu guru di Diniyah Putri.
"Kau tak usah khawatir, Diniyah Putri tidak akan berhenti sampai disini. Kita tidak boleh menyerah kita harus bangun kembali apa yang telah kita bangun sejak awal," jawabku tegas dengan yakin.
Aku berjuang kesana-kemari mencari dana untuk membangun kembali sekolah Diniyah Putri, untungnya aku tidak sendirian aku ditemanai teman-temanku dan juga orang-orang yang mendukung sekolah Diniyah Putri. Setelah penuh perjuangan membangun kembali sekolah yang telah ambruk, akhirnya sekolah Diniyah School bisa dipakai kembali. Bentuk bangunannya masih sama seperti dulu hanya warnanya saja yang berubah kini menjadi putih bersih.
"Setelah ini kau mau apa?," tanya temanku kepadaku.
"Entahlah aku hanya sibuk mengurusi sekolahku saja, mungkin kedepannya akan ada yang aku lakukan untuk membantu negeri ini," ujarku sembari menerawang apa yang akan aku lakukan selanjutnya.