Dispensasi Nikah: Solusi atau Problematika Pernikahan Dini?
Menuju Indonesia Emas 2045 tidaklah mudah, maraknya pernikahan dini menjadi persoalan yang serius. Hal ini dapat dilihat pada dispensasi pernikahan anak yang diputus Pengadilan Agama. Walaupun pada tahun 2020 hingga 2022 terjadi penurunan yang cukup signifikan, yakni pada tahun 2020 terdapat 63.380 kasus, pada tahun 2021 terdapat 61.449, dan pada tahun 2022 terdapat 50.748, akan tetapi tercatat per 2 Oktober 2023 tercatat 50.747 kasus, yang sedikit lagi akan menyamakan jumlah kasus ditahun 2022. Belum lagi dihadapkan dengan angka-angka dari tahun sebelumnya. Miris terjadi, dispensasi nikah dilakukan sebagai alternatif jalan keluar perzinaan.
Perlu diketahui dispensasi nikah yang diberikan Pengadilan Agama merupakan keringanan kepada setiap orang yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan, dengan dasar hukum UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lahirnya dispensasi nikah awalnya bertujuan untuk keluar dari gagalnya regulasi disatu sisi dan disisi lain tingginya angka kehamilan diluar nikah. Kenyataannya, hingga saat ini regulasi yang dirancang tersebut belum mampu mengatasi angka pernikahan dini, akibat masih banyaknya permohonan dispensasi nikah yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama.
Dispensasi nikah diusung dengan dalih agama, yang bersumber dari salah satu aliran pemikiran, agama tidak menetapkan batasan usia tertentu untuk menikah. Daripada membiarkan pasangan muda yang belum cukup umur untuk menikah terjerumus dalam maksiat dan dosa zina, akan lebih bermanfaat jika mereka menikah sesuai sistem pernikahan.
Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini, mulai dari keluarga hingga lingkungan luar.
Kondisi Ekonomi
Dengan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, pernikahan dini menjadi langkah yang diambil, hal ini dilakukan mayoritas dari pihak perempuan dengan menikahkan anaknya kepada laki-laki yang lebih mapan, dengan harapan mendapatkan hidup yang lebih baik.
Kondisi Pendidikan
Kondisi ini sering terjadi pada daerah pedesaan, masih menjadi hal yang lumrah sebab kurangnya sosialisasi pada orang tua terhadap anak mereka yang berhak menempuh pendidikan wajib 12 tahun.
Kondisi Orang Tua
Setiap orang tua pasti akan khawatir kepada anaknya yang bisa saja melakukan perbuatan tidak semestinya, mengingat pada usia remaja dimasa pubertasnya sudah bisa mengenal dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, menjadikannya rentan terhadap seks bebas, dengan dalih inilah kebanyakan orang tua memilih menikahkan anaknya yang masih dini
Internet dan Media Massa
Pesatnya perkembangan era digital tidak dapat dihindari, terutama dikalangan anak dan remaja yang semakin mudah dalam mengakses informasi dan konten dalam bentuk apapun. Paparan konten yang dialami anak dan remaja dapat mencakup konten negative  yang membahayakan kehidupan mereka, seperti pornografi, promosi perilaku romantis yang berbahaya, misinformasi tentang seks dan reproduksi, dan mendorong pernikahan anak.
Hamil sebelum menikah
Pendidikan seks sejak dini pada anak sebenarnya bukanlah hal yang tabu, tentunya hal ini akan membantu anak memahami berbagai risiko yang bisa timbul saat melakukan hubungan seks bebas. Salah satunya adalah kehamilan sebelum menikah yang lebih banyak terjadi pada usia anak-anak. Dalam kondisi inilah orang tua terpaksa menikahkan anaknya yang masih dini demi menutupi aib yang terjadi.
Pernikahan dini yang dinilai menjadi solusi dari berbagai kondisi, tidak lepas dengan dampak negatif yang ditimbulkan, diantaranya.
Peningkatan risiko infeksi menular seksual
Bagi setiap orang yang belum berusia 18 tahun melakukan hubungan suami istri, memicu resiko tinggi mengalami berbagai risiko infeksi menular seksual, seperti HIV ataupun sifilis.
Mengalami kecanduan
Anak atau remaja yang masih diusia dini belum bisa mengetahui dengan bijak bagaimana cara yang tepat untuk mencari solusi jika dihadapi oleh permasalahan rumah tangga, hal ini berimplikasi kepada hal apa yang dilakukan jika anak atau remaja dihadapi suatu masalah, seperti mengalami kecanduan narkoba, minuman beralkohol, hingga judi.
Masalah kesehatan mental
Studi menunjukkan, bahwa suami dan istri yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko 41% mengalami masalah kesehatan mental, yang diantaranya gangguan kecemasan, depresi, trauma psikologis seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), dan gangguan disosiatif, seperti gangguan kepribadian ganda. Selain itu, United Nations Children's Fund (UNICEF) juga menyatakan bahwa remaja sangat kurang memiliki kemampuan  mengendalikan emosi dan mengambil keputusan yang bijaksana. Artinya, ketika konflik keluarga muncul, seringkali pasangan lebih mengutamakan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah. Hal ini kemudian menyebabkan munculnya berbagai jenis masalah kesehatan mental. Selain itu, masalah mental juga bisa muncul saat wanita  mengalami keguguran. Pasalnya, tubuh  belum cukup sehat untuk bisa hamil dan melahirkan di usia muda, sehingga keguguran mudah terjadi.
Para remaja harus menjadi perhatian khusus untuk dapat didampingi agar didewasa nantinya menjadi pemuda  yang secara individu akal, mental, dan fisik mumpuni. Mampu mandiri, bertanggung jawab, mengatasi beban dengan solusi bukan masalah. Peran orang tua dirumah sangat penting yang menjadi guru pertama mereka. Sekolah yang menjadi tepat berlajar kedua mereka, harus berkontribusi untuk tumbuh kembang anak remaja menjadi dewasa.
Remaja yang mampu membedakan dan memilih antara benar dan salah dapat menjalani kehidupan sosialnya secara efektif dan positif. Generasi muda masa depan adalah tanggung jawab kita bersama, sehingga kita memerlukan kontribusi seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang dapat membantu mereka tumbuh dan menjadi generasi muda.
Edukasi digital perlu diberikan lebih intensif agar mereka tidak tersandera oleh media sosial dan perangkat digital untuk tujuan negatif yang mendorong pernikahan dini. Diakui, tantangan generasi digital jauh lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi oleh orang tua mereka.
Sudah selayaknya seluruh sektor bangsa (pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, orang tua, guru, dan penceramah) berupaya secara nyata untuk memastikan generasi muda kita tidak terjerumus dalam  pernikahan anak. Caranya adalah dengan memantau interaksi sosial anak kita secara lebih penuh namun hati-hati. Selain itu, kita harus mendapatkan pendidikan seks yang baik sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah agar anak kita dapat mengenal dan menyeimbangkan fungsi alat kelamin dengan tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H