Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter dibuat mulai dari pemerintah pusat sampai ke tataran keluarga. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Strategi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pendidikan karakter dimulai dari pemerintah pusat (top-down) dengan kebijakannya tentang pelaksanaan pendidikan karakter, strategi dari pengalaman praktisi (bottom-up) seperti yang dilakukan beberapa lembaga yang konsen dengan perbaikan karakter bangsa, misalnya: The ESQ way 165, dan melalui strategi revitalisasi program penunjang pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kegiatan ko-kurikulur dan ekstrakurikuler seperti, pramuka, PMR, kantin kejujuran, dan lain-lain. Ketiga strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang saling menguatkan, yaitu: top down yang lebih bersifat intervensi, bottom up yang lebih bersifat penggalian best practice dan habituasi, serta revitalisasi program. Dan hendaknya ketiga strategi tersebut dilaksanakan secara terintegrasi dalam keempat pilar penting pendidikan karakter di sekolah sebagaimana yang dituangkan dalam Desain Induk Pendidikan Karakter, (Kemdiknas, 2010), yaitu: kegiatan pembelajaran di kelas, pengembangan budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler.
Marzuki (2012, hal. 42) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan karakter di sekolah merupakan bagian dari reformasi pendidikan, maka reformasi pendidikan karakter bisa diibaratkan sebagai pohon yang memiliki empat bagian penting, yaitu akar, batang, cabang, dan daun. Akar reformasi adalah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter harus jelas dan dipahami oleh masyarakat. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah penyelenggara dan pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional. Dalam hal ini standar dan tujuan dilaksanakannya pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan akuntabel. Cabang reformasi berupa manajemen pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus ditingkatkan. Sedang daun reformasi adalah adanya keterlibatan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan kebiasaan hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.
Faktor-Faktor Pendukung Pendidikan Karakter
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan/sekolah dapat tercapai dengan keterlibatan semua warga sekolah, keluarga, dan anggota masyarakat. Bahkan Wening (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Pendidikan nilai merupakan implementasi pendidikan karakter yang diperoleh dari lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan media massa. Keluarga merupakan lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter yang pertama yang harus terlebih dahulu diberdayakan, sedangkan pendidikan karakter di sekolah ditekankan pada penanaman moral, nilai-nilai estetika, budi pekerti yang luhur. Di samping itu lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter atau watak seseorang. Mengingat keberhasilan pendidikan karakter sangat dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat, keberadaan contoh (role model) sangat berarti. Misalnya orang tua, guru, dan para public figur harus menjadi contoh langsung bagi anak atau peserta didik.
Peran guru sebagai role model di sekolah sangat berpengaruh terhadap efektifitas penerapan pendidikan karakter. Pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas diperlukan dalam situasi dan kondisi bangsa yang masih dilanda krisis multidimensi. Sehingga kehadiran pendidik sebagai key actor in the learning process, yang profesional serta memiliki karakter kuat dan cerdas, karena melalui pendidik yang memiliki karakter kuat dan cerdas akan tercipta sumber daya manusia yang merupakan pencerminan bangsa yang berkarakter kuat dan cerdas, serta bermoral luhur (Pendidikan, 2012). Efektifitas penanaman nilai-nilai budi pekerti juga sangat dipengaruhi oleh ketepatan pendekatan yang dipilih guru, misalnya Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)(Zubaedi, 2009, hal. 23). Pendekatan ini memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini sangat efektif untuk pendidikan di alam demokrasi. Disisi lain keberhasilan pendidikan karakter salah satunya adalah menghapus dikotomi bahwa karakter adalah tanggung jawab guru agama dan guru kewarganegaraan. Sesungguhnya keberhasilan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama sehingga semua guru harus membangun sinergi antar mata pelajaran (Zubaedi, 2009, hal. 23). Mulyasa (2011) memiliki pendapat yang senada bahwa pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran, merupakan model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pendidik karakter (character educator). Artinya guru adalah contoh nyata bagi anak didik dalam menerapkan nilai-nilai karakter yang diajarkan.
Pelaksanaan pendidikan karakter tidak semudah mendesain pendidikan karakter itu sendiri. Sebagai contoh, pendidikan karakter di sekolah menanamkan nilai-nilai disiplin, jujur, dan toleran sehingga pendidikan karakter menjadi salah satu solusi kultural untuk mengurangi korupsi, namun di luar sekolah, stuktur masyarakat menampilkan sosok pemimpin yang korup, tidak jujur, terjadi ketidakadilan. Di sinilah letak tidak efektifnya pendidikan budaya dan karakter yang ditanamkan kepada anak. Sugeng Bayu Wahyono, sosiolog, dosen FIP UNY pada Diskusi Media Forum UNY bertema “Korupsi dan Pendidikan Karakter” (2011) mengatakan kalau pendidikan karakter ingin berhasil, masalah struktural harus diperbaiki dulu, karena masalah korupsi bukan hanya masalah kultural tapi juga masalah strukrural. Sehingga Beliau menawarkan alternatif pendidikan kritis sebagai solusi memberantas korupsi. Pendidikan kritis merupakan arena menanamkan kesadaran bahwa terdapat penindasan struktur yang membuat tiadanya pembebasan dan pencerahan. Dalam pendidikan kritis, peserta didik akan bersifat kritis terhadap struktur yang menindas, baik yang menindas dunia ide maupun praktik sosial, politik, ekonomi, dan praktik kebudayaan. Penerapan pendidikan kritis bukan hanya di sekolah-sekolah, tetapi disemua lembaga sosial, sehingga akan terciptanya “critical mass”, suatu masa atau rakyat yang kritis terhadap segala bentuk struktul yang menindas. Hanya dengan menciptakan massa yang kritis yang akan mampu menciptakan bangsa dan berkarakter, seperti disiplin tinggi, jujur, toleran dan yang paling penting adalah mandiri.
Presiden SBY dalam (Dewangga, 2012) menyampaikan pidatonya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional bahwa pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus dijalankan mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul, yaitu :
1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;