Episode teranyar drama Queen of Tears sudah dirilis. Drama Korea tersebut agaknya menjadi "magnet" tersendiri bagi masyarakat. Buktinya, di sejumlah medsos mulai muncul banyak posting-an yang mengupas drakor tersebut, dan cukup ramai mendapat komentar dari orang-orang.
Saya pribadi baru nonton sampai episode 8. Di episode tersebut digambarkan bagaimana nasib anggota Keluarga Hong berputar "180 derajat" dalam semalam. Semua itu bisa terjadi bukan tanpa alasan. Siasat licik Mo Seul-Hee dan Yoon Eun-Seong untuk menguasai mayoritas saham Queen adalah penyebabnya.
Karena sudah lumayan lama bergelut di dunia saham, maka saya cukup paham "modus operandi" yang dilakukan oleh ibu dan anak tersebut. Sebelum saya membahas lebih lanjut "modus operandi" tersebut, sekiranya saya perlu memberi sedikit "intermezo" tentang latar belakang Mo Seul-Hee dan Yoon Eun-Seong.
Seperti diketahui, Mo Seul-Hee adalah "wanita simpanan" Ketua Queen Group Hong Man Dae. Biarpun bukan istri sahnya, namun Ketua Hong begitu mempercayai Seul-Hee.
Alasannya, Seul-Hee bersedia menjadi "kambing hitam" atas skandal yang menjerat Queen Group. Saat anak-anaknya Ketua Hong enggan berkorban karena takut masuk penjara, Seul-Hee berani mengajukan diri untuk menanggung semua "dosa" perusahaan tersebut.
Alhasil, Ketua Hong sangat percaya kepadanya sampai-sampai ia bersedia menandatangani surat kuasa yang menyatakan bahwa segala urusan terkait Ketua Hong akan diserahkan kepadanya apabila terjadi sesuatu yang buruk terhadap Ketua Hong.
Sementara itu, Yoon Eun-Seong adalah seorang fund manager. Tugasnya sederhana. Ia hanya bertugas mencari perusahaan untuk dibeli. Kebetulan perusahaan tersebut adalah Queen Group.
Meski disebut "kebetulan", namun sebetulnya itu bukanlah sebuah "kebetulan". Eun-Seong sejatinya sudah kenal lama dengan Putri Ketua Hong, yakni Hae-In. Sepertinya ia punya hubungan spesial dengan Hae-In walaupun hubungan tersebut sempat terputus selama bertahun-tahun.
Selain itu, ia juga punya "misi rahasia" untuk membeli saham Queen, yang mungkin bakal terkuak di episode-episode berikutnya.
Nah, selanjutnya, saya akan menerangkan "modus" yang dilakukan oleh Seul-Hee dan Eun-Seong. Suatu malam, Ketua Hong bermain Janggi (Catur Korea) dengan Seul-Hee. Tanpa diketahui oleh Ketua Hong, bidak catur tersebut sudah dibubuhi racun. Alhasil, Ketua Hong pun roboh dan koma.
Di sisi lain, Eun-Seong diam-diam terus mengakumulasi saham Queen. Akhirnya, ia pun berhasil menjadi pemegang saham terbesar kedua Queen Group. Dengan demikian, ia mempunyai kekuasaan untuk mengatur manajemen dan mengendalikan perusahaan.
Kekuasaan tersebut bertambah besar berkat Seul-Hee. Karena Seul-Hee memegang surat kuasa yang memungkinkannya untuk mengatur segala urusan Ketua Hong, maka ia bisa saja menyerahkan semua saham mayoritas Ketua Hong untuk dibeli oleh Eun-Seong. Alhasil, biarpun baru menggenggam 31%, namun sebetulnya ia sudah menguasai lebih dari 70% saham Queen.
Hal itulah yang kemudian membikin hidup semua anggota Keluarga Hong berubah total. Mereka diusir dari rumah, diberhentikan dari perusahaan, dan diperlakukan seperti orang biasa, karena mereka bukan lagi pemilik perusahaan. Mereka bukan siapa-siapa.
Belajar Dunia Persahaman
Saya pribadi mengapresiasi penulis skenario Queen of Tears Park Ji-Eun. Ia tak hanya menyajikan cerita yang menarik, tapi juga mengenalkan dunia korporat yang kompleks. Alhasil, Queen of Tears terasa begitu berbobot, dan kita seolah dibuat penasaran untuk menantikan episode selanjutnya.
Selain itu, lewat drakor tersebut, kita juga jadi belajar beberapa hal tentang dunia persahaman dan investasi.
Pertama, saham adalah bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan.
Semakin besar jumlah saham yang kamu miliki maka semakin besar kekuasaan yang kamu punya atas perusahaan tersebut.
Saat mayoritas saham Queen masih digenggam oleh Ketua Hong maka keluarganya dapat hidup makmur. Mereka mempunyai kekuasaan atas semua hal yang dimiliki perusahan, mulai dari aset, jabatan, hingga karyawan.
Namun, begitu sahamnya berpindah tangan, nasib keluarganya pun berubah. Mereka tak lagi bisa mengatur karyawan sesuka hati karena mereka bukan lagi pemilik perusahaan. Jangankan disuruh melakukan tugas berat, diminta membuat kopi saja karyawannya belum tentu mau.
Kejadian seperti itu sebetulnya tidak hanya terjadi di drama. Di kehidupan nyata pun pernah terjadi. Saya ingat pernah menonton sebuah podcast yang menghadirkan Edwin Soeryadjaya. Edwin adalah anak dari William Soeryadjaya, salah satu founder Astra.
Edwin bercerita bahwa sebagai anaknya bos Astra, ia mendapat perlakukan istimewa di kantor. Pekerjaan hariannya terbilang ringan karena karyawan lain sudah membereskan tugasnya sedemikian rupa, sehingga ia tak perlu repot-repot mengerjakannya sendiri. Di samping itu, ia juga selalu dihormati dan disegani oleh staf-stafnya. Maklum lah, siapa sih yang berani sama anaknya bos?
Namun, keistimewaan tersebut lenyap begitu ayahnya menjual mayoritas saham Astra pada tahun 1992. Kehidupan Edwin di kantor pun berbalik, seperti halnya Keluarga Hong.
Jika dulu ketika ia ingin bertemu dengan manajer Astra, ia hanya perlu bilang dan manajer tadi akan langsung datang menghadap, maka kini ceritanya jadi lain. Sebab, ia mengaku pernah disuruh menunggu si manajer selesai main golf dulu sebelum bertemu dengannya hanya karena ia bukan siapa-siapa lagi di Astra.Â
Biarpun dulu pernah diperlakukan begitu spesial, namun karena sekarang statusnya bukan siapa-siapa, maka ia cuma dipandang sebagai orang biasa saja!
Kedua, tidak semua investor mempunyai niat baik.
Dari pengalaman, saya berani menyimpulkan bahwa setiap investor hanya mempunyai satu tujuan, yakni memperoleh keuntungan. Hanya saja, cara untuk mendapatkan keuntungan tersebut bisa berbeda-beda.
Memang ada investor yang sengaja membeli perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya yang sedang jelek, mengubahnya menjadi lebih baik, dan kemudian menjualnya dengan harga lebih tinggi.Â
Hal itu dilakukan seperti kita membeli sebuah rumah tua dengan harga yang sangat murah, lalu melakukan renovasi secara besar-besaran, dan kemudian menjualnya dengan harga yang mahal.
Namun, ada juga investor yang mempunyai niat jelek, seperti membeli perusahaan untuk melikuidasi aset-asetnya. Investor seperti itu biasanya hanya mengincar aset perusahan yang bisa dijual, dan mengabaikan nasib karyawan yang bekerja di dalamnya.
Kalau kamu pernah menonton film Wall Street (1987) maka kamu pasti paham maksud saya. Sebab, film tersebut mengisahkan sepak terjang Gordon Gekko (Michael Douglas) yang ingin membeli saham maskapai penerbangan dengan tujuan untuk "mempreteli" aset-asetnya untuk dijual kembali.
Gekko sama sekali tidak peduli dengan hidup karyawan maskapai tersebut. Baginya, karyawan bukanlah aset yang berharga. Ia lebih peduli pada aset lain, yang memang bisa dijual dengan harga mahal.
Gekko sejatinya setipe dengan Eun-Seong. Mereka sama-sama punya maksud terselubung dalam berinvestasi saham. Apa yang mereka lakukan sebetulnya tidak bertentangan secara hukum, tapi secara moral, perbuatan mereka tercela.
Ketiga, selalu lakukan diversifikasi investasi.
Kehidupan Keluarga Hong yang berubah 180 derajat bisa terjadi karena mereka tidak melakukan diversifikasi. Mereka hanya menggantungkan hidup pada satu perusahaan saja, yakni Queen Group.
Tidak ada perusahaan lain yang mereka miliki di luar Queen yang bisa menjadi bantalan manakala terjadi sesuatu yang buruk. Alhasil, begitu mayoritas saham Queen dikuasai oleh orang lain, mereka pun terpaksa didepak, dan kemudian kebingungan untuk mencari pegangan hidup.
Dari situ sebetulnya kita jadi belajar bahwa mempunyai satu sumber penghasilan itu ternyata bisa begitu berisiko. Ibarat sebuah keran air, biarpun satu sumber tersebut menghasilkan uang yang banyak, namun kalau suatu hari, mendadak mampet, maka hidup kita bakal jadi sulit.
Makanya paling bagus kalau kita punya beberapa keran air yang saluran pipanya berbeda. Jadi, kalau ada satu yang bermasalah, masih ada yang lain, yang bisa digunakan.
Berinvestasi pun demikian. Saya bukanlah tipe orang yang suka all in saat berinvestasi saham. Memang betul kalau kamu memasukkan semua duitmu all in di satu saham saja, maka return yang bisa kamu peroleh juga bakal sangat besar.
Iya kalau untung sih, kalau rugi bagaimana? Minusnya bisa sangat besar lho.
Oleh sebab itu, untuk meminimalkan risiko tadi, saya membagi duit investasi ke dalam beberapa saham. Tidak banyak, tapi tidak juga sedikit. Antara 5-8 saham. Saya kira, dengan melakukan diversifikasi demikian, return yang bisa saya peroleh bisa tetap tinggi dan risikonya bisa ditekan serendah mungkin.
Keempat?
Saya kira tulisan ini sudah kepanjangan. Saya bahas lain kasih saja. Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Selamat nonton dan belajar investasi dari drakor Queen of Tears.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H