Lewat jalinan adegan yang ditampilkan, kita jadi bisa mengetahui sejarah, serta memahami emosi pada masing-masing karakter, sehingga nyaris tak ada tanda tanya yang muncul di benak penonton tentang latar hidupnya tersebut.
Beda dengan "How Are You, Really?". Durasi yang ditampilkan film ini terbilang sangat pendek, sekitar 60 menit, sehingga sejarah hidup tiap-tiap karakternya tidak cukup terekspose dengan maksimal.
Kita cuma bisa mengetahui cerita masa lalunya lewat cuplikan adegan yang sangat singkat, sehingga hal itu masih menyisakan pertanyaan yang tidak sempat terjawab:
Mengapa Mirah menikah dengan suaminya? Apakah selama mereka berpacaran, Mirah tidak "mencium" gelagat bahwa suaminya adalah tipe peselingkuh atau "playboy"? Juga soal Rendra, jika memang ia memihak dan menyayangi ibunya, mengapa selama bertahun-tahun, ia enggan mengangkat telepon dan menolak berbicara dengan ibu-nya yang jelas-jelas "nrima" diduakan? Sederet pertanyaan itulah yang membikin jalan cerita film ini serbatanggung.
Meski begitu, film ini menyisipkan sebuah "muatan lokal" yang menarik dibahas, yakni sikap "Nrima". "Nrima" adalah falsafah Jawa yang membumi. Sesuai namanya, falsafah ini ditandai dengan sikap lapang dada dalam menghadapi segala macam kejadian (terutama yang buruk) yang dialami dalam hidup.
Sekilas sikap ini mirip dengan pasrah, tapi sejatinya "Nrima" lebih daripada itu. Sebab, orang bersikap "Nrima" biasanya iklas menerima semua yang terjadi, dan terus menjalani hidup sesudahnya dengan penuh keberanian.
Sikap ini tampak dijiwai dengan baik oleh Jihane Almira. Latar belakangnya sebagai kontestan Puteri Indonesia dari Jawa Tengah membuatnya mampu memahami dan meresapi sikap "Nrima" tersebut.
Jelas tidak mudah memang mengekspresikan sikap "Nrima" di luar, sementara di dalam dirinya, hatinya seperti tercabik. Namun, jihane mampu menampilkan sosok wanita jawa yang mampu bersikap seolah semuanya baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak baik-baik saja.
Hal menarik lain ialah stigma negatif atas tato. Agaknya stigma ini memang sukar dihapus. Maklum, tato masih saja diasosiasikan dengan berbagai hal yang berbau negatif. Lelaki yang bertato kerap dipersepsikan sebagai "orang jahat", sementara perempuan yang bertato sering dikesankan sebagai "cewek nakal".
Hal itulah yang membikin orang yang tubuhnya penuh tato seperti Rendra acapkali dituduh yang bukan-bukan. Contohnya, ia pernah dituduh mencuri hp milik kasir minimarket, padahal kenyataannya tidak demikian. Makanya tidak mudah jadi berbeda. Tidak gampang menjalani hidup sebagai Rendra.
Stigma inilah yang agaknya coba digerus oleh Sutradara Hanny Saputra. Menurut Hanny, orang membikin tato sesungguhnya sebagai wujud ekspresi diri, tidak ada sangkut-pautnya dengan hal negatif tertentu. Makanya, orang yang bertato belum tentu orang jahat, dan sebaliknya orang yang jahat belum tentu bertato.