Perusahaan-perusahaan yang kondisi keuangannya sehat selalu mempunyai banyak uang kas (tunai) yang siap dibagikan kepada investornya.
Beda ceritanya dengan perusahaan yang situasi finansialnya buruk. Dalam kasus perusahaan demikian, jangankan punya uang tunai yang bisa diberikan dalam bentuk dividen, membayar utang saja sepertinya begitu sulit.
Makanya, kalau kita menjumpai perusahaan yang katanya sukses mencetak laba yang jumbo, tetapi tidak menyetorkan dividen kepada investornya, maka kita patut curiga. Bisa-bisa laba tadi hanya bernilai di atas "kertas" saja, tidak lebih.
3. Membaca Catatan yang Ditinggalkan Auditor
Setiap tahun, sejumlah perusahaan publik wajib merilis laporan keuangan yang sudah diaudit. Laporan ini bersifat final, karena setiap data yang tercantum di dalamnya sudah diperiksa kebenarannya oleh auditor.
Pemeriksaan demikian memang mesti dilakukan demi menjaga kepercayaan investor. Jangan sampai terdapat informasi keliru di dalamnya, yang bisa menyesatkan dan merugikan investor.
Ingat kasus Jiwasraya? Sebelum kasus tersebut terkuak, auditor yang mengecek laporan keuangan yang dibuat manajemen Jiwasraya membubuhkan opini "wajar" di dalamnya.
Hal ini tentu saja terkesan "janggal", sebab bagaimana mungkin auditor yang sudah memahami laporan keuangan dengan begitu baik dan mempunyai "jam terbang" yang tinggi dalam melakukan audit bisa menilai bahwa keuangan Jiwasraya baik-baik saja, padahal tidak demikian faktanya?
Walaupun tidak selalu akurat, namun investor tetap bisa "mengendus" adanya "fraud" dalam catatan yang ditinggalkan oleh auditor.
Jika auditor yang bersangkutan menjalankan tugasnya dengan baik dan kemudian menemukan sesuatu yang tidak beres pada perusahaan, maka ia pasti menyertakan opini yang sejujurnya di dalam laporannya.