Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inilah 4 Cara Mengendus "Fraud" dalam Investasi Saham

8 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 8 Maret 2021   17:11 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fraud (Sumber: Shutterstock via Kompas.com)

Saya selalu percaya, di balik sebuah musibah terdapat hikmah yang bisa dipetik. Setidaknya itulah yang bisa ditemukan dalam kasus yang membelit PT Tiga Pilar Sejahtera (AISA). 

Beberapa tahun lalu, mantan "juragan beras" ini tersangkut sebuah kasus, yang merugikan banyak pihak, termasuk investor yang membeli sahamnya.

Kasus tersebut sekarang sedang memasuki tahap persidangan. Mantan Direktur AISA, yakni Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto Suwito, ditetapkan menjadi tersangka setelah keduanya diduga melakukan "fraud" (penipuan) dalam laporan keuangan perseroan. 

Mereka dituduh menyampaikan informasi palsu di laporan tersebut demi menutupi kelemahan fundamental perusahaan yang sesungguhnya.

Kejadian semacam ini bisa dikategorikan sebagai "human fraud". "Human fraud" seperti yang terjadi di AISA sejatinya bukan kali ini saja terjadi. Pada masa lalu, kasus serupa juga pernah menimpa sejumlah perusahaan.

Sebut saja kasus Enron. Kasus yang terjadi pada awal tahun 2000 ini memang sempat menghebohkan pasar saham di Amerika Serikat.

Pasalnya, manajemen Enron diketahui melakukan manipulasi laporan keuangan dengan begitu lihai selama bertahun-tahun, sehingga terkesan bahwa kondisi perusahaan baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak demikian.

Alhasil, setelah kebobrokan itu terkuak, harga saham Enron langsung ambruk dan ada begitu banyak investornya yang menanggung kerugian yang besar!

Bagi para investor saham, kasus demikian merupakan sebuah "tragedi". Disebut begitu karena penipuan tersebut biasanya dilakukan secara terencana dan terstruktur oleh manajemen, sehingga terkadang investor luput menyadarinya. 

Hal inilah yang bisa membikin cerita investasi yang dilakukan oleh investor berakhir sedih.

"Tragedi" tersebut sejatinya bisa dihindari kalau sejak awal, investor mampu mengenali tanda-tanda "fraud" yang muncul sebelum memutuskan berinvestasi di sebuah saham.

Tanda-tanda ini memang agak sulit dilihat, mengingat investor mesti melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap sejumlah informasi terkait dengan fundamental perusahaan.

Penyelidikan tadi jelas menghabiskan hanya waktu dan tenaga, sehingga belum tentu setiap investor mampu melakukannya.

Meski begitu, berdasarkan pengalaman, ada 4 hal sederhana yang bisa ditinjau investor demi memastikan apakah saham perusahaan yang ingin dibelinya terindikasi "fraud" atau tidak.

1. Membandingkan Tren Harga Saham dengan Tren Laba
Pertumbuhan laba yang dihasilkan perusahaan dan harga saham yang terbentuk di pasar biasanya akan bergerak beriringan. 

Apabila perusahaan melaporkan nominal laba yang bertumbuh dibandingkan tahun sebelumnya, maka seharusnya harga sahamnya akan naik.

Sebaliknya pun demikian. Jika perusahaan terus mencatatkan kerugian tahun demi tahun, maka harga sahamnya pun bakal terus turun.

Trend Saham/ sumber: ETMarkets.com via https://m.economictimes.com
Trend Saham/ sumber: ETMarkets.com via https://m.economictimes.com
Namun demikian, kadangkala terjadi sebuah "anomali". Misal, katakanlah dalam laporan keuangannya selama 5 tahun terakhir, perusahaan menunjukkan laba yang terus meningkat.

Kenaikan laba tadi semestinya mendongkrak harga sahamnya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Harganya malah cenderung "sideway" atau bahkan ambyar!

Dalam kasus tersebut, kita tentu bertanya-tanya, "Jika memang betul perusahaan terus menghasilkan laba dalam waktu 5 tahun, mengapa harganya masih segitu-segitu saja? Apa yang menyebabkan investor "malas" mengangkat harganya?"

Pertanyaan tersebut bisa "memancing" kita untuk menggali informasi lebih lanjut, karena boleh jadi, salah satu penyebabnya ialah karena investor lain sudah tahu ada sesuatu yang mencurigakan dalam laporan keuangannya, sehingga mereka terlihat ogah membeli sahamnya. Boleh jadi itulah tanda "fraud" yang patut diwaspadai.

2. Memeriksa "Sejarah" Pembagian Dividen
Perusahaan yang baik biasanya tak hanya konsisten mencetak keuntungan, tetapi juga gemar membagikan dividen dari tahun ke tahun. Sejarah pembayaran dividen ini cukup penting artinya.

Dividen/ sumber: https://www.indiafilings.com
Dividen/ sumber: https://www.indiafilings.com
Pasalnya, hal itu bisa menjadi sebuah tanda ada-tidaknya "fraud" yang dilakukan oleh perusahaan. Alasannya? 

Perusahaan-perusahaan yang kondisi keuangannya sehat selalu mempunyai banyak uang kas (tunai) yang siap dibagikan kepada investornya.

Beda ceritanya dengan perusahaan yang situasi finansialnya buruk. Dalam kasus perusahaan demikian, jangankan punya uang tunai yang bisa diberikan dalam bentuk dividen, membayar utang saja sepertinya begitu sulit.

Makanya, kalau kita menjumpai perusahaan yang katanya sukses mencetak laba yang jumbo, tetapi tidak menyetorkan dividen kepada investornya, maka kita patut curiga. Bisa-bisa laba tadi hanya bernilai di atas "kertas" saja, tidak lebih.

3. Membaca Catatan yang Ditinggalkan Auditor
Setiap tahun, sejumlah perusahaan publik wajib merilis laporan keuangan yang sudah diaudit. Laporan ini bersifat final, karena setiap data yang tercantum di dalamnya sudah diperiksa kebenarannya oleh auditor.

Pemeriksaan demikian memang mesti dilakukan demi menjaga kepercayaan investor. Jangan sampai terdapat informasi keliru di dalamnya, yang bisa menyesatkan dan merugikan investor.

Auditor/ sumber: https://www.dnaindia.com
Auditor/ sumber: https://www.dnaindia.com
Meski begitu, tetap saja terdapat sejumlah kasus, yang memperlihatkan luputnya proses audit dalam memastikan keabsahan informasi di laporan keuangan.

Ingat kasus Jiwasraya? Sebelum kasus tersebut terkuak, auditor yang mengecek laporan keuangan yang dibuat manajemen Jiwasraya membubuhkan opini "wajar" di dalamnya.

Hal ini tentu saja terkesan "janggal", sebab bagaimana mungkin auditor yang sudah memahami laporan keuangan dengan begitu baik dan mempunyai "jam terbang" yang tinggi dalam melakukan audit bisa menilai bahwa keuangan Jiwasraya baik-baik saja, padahal tidak demikian faktanya?

Walaupun tidak selalu akurat, namun investor tetap bisa "mengendus" adanya "fraud" dalam catatan yang ditinggalkan oleh auditor.

Jika auditor yang bersangkutan menjalankan tugasnya dengan baik dan kemudian menemukan sesuatu yang tidak beres pada perusahaan, maka ia pasti menyertakan opini yang sejujurnya di dalam laporannya.

Opini inilah yang bisa menjadi rambu-rambu bagi investor supaya berhati-hati sewaktu ingin membeli saham perusahaan tersebut.

4. Menganalisis Laporan Keuangan

Cara ini sebetulnya agak rumit, mengingat dibutuhkan wawasan tentang akuntansi yang cukup mumpuni dalam melakukannya. 

Namun demikian, jika ingin mengetahui ada "fraud" di dalam sebuah laporan keuangan, maka investor bisa mencermati sejumlah hal yang tercantum di dalam laporan tersebut.

Laporan Keuangan/ sumber: https://elements.envato.com
Laporan Keuangan/ sumber: https://elements.envato.com
Mari kita ambil kasus AISA sebagai contoh. "Fraud" yang dilakukan Direktur AISA dalam laporan keuangannya bermula ketika mereka berupaya "menggelembungkan" nilai penjualan yang dibukukan perseroan.

Caranya ialah dengan melakukan transaksi afililasi. Kronologinya kurang-lebih sebagai berikut.

Sebelum kasus AISA mencuat, mantan direktur utamanya diketahui mempunyai 6 perusahaan. Nah, keenam perusahaan itu mempunyai kongsi bisnis dengan AISA.

Semuanya membeli produk yang dijual AISA dan kemudian memasarkannya kepada masayarakat. Sederhananya, kongsi bisnis ini mirip dengan hubungan antara produsen dan distributor.

Dalam laporan keuangan AISA, status keenam perusahaan tadi adalah "Perusahaan Pihak Ketiga", bukan "Pihak Berelasi".

Ini tentu merupakan sebuah "kekeliruan", mengingat kalau ada sejumlah perusahaan yang mempunyai owner yang sama dan saling menjalin hubungan bisnis, maka status semua perusahaan tersebut semestinya "Pihak Berelasi".

Setelah diusut lebih lanjut, status perusahaan yang saling berkerabat tersebut diketahui sengaja disamarkan oleh si direktur utama demi "mempercantik" laporan keuangan yang dirilis AISA.

Maklum, pada waktu itu, kondisi keuangan AISA memang sedang "megap-megap" setelah pabrik berasnya mengalami pailit akibat tersangkut kasus hukum.

Untuk menstabilkan keuangan perusahaan, manajemen terpaksa mesti mencari pinjaman. Namun, pinjaman ini tentu saja sulit diperoleh karena kondisi keuangan sedang payah. Bank pasti akan sangat selektif memberikan kredit jika keuangan AISA demikian.

Untuk itulah, AISA kemudian menjual lebih banyak produk kepada 6 perusahaan saudaranya.

Walaupun penjualan tadi mayoritas dilakukan secara kredit, sehingga jumlah piutang yang dimiliki AISA jadi membengkak, namun hal itu memberi kesan bahwa penjualan yang dicatatkan AISA naik dibandingkan periode sebelumnya.

Sampai di situ semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah piutang yang menumpuk itulah yang kemudian menjadi "bumerang" pada AISA.

Sebab, kalau perusahaan saudaranya tidak sanggup membayar utang-utangnya kepada AISA, maka AISA bakal sulit memperoleh uang tunai untuk menjalankan operasional.

Alhasil, karena pinjaman pun belum bisa diperoleh, maka mulai muncul rentetan masalah, mulai dari perselisihan antara komisaris dan direktur, keributan yang terjadi dalam RUPS, hingga suspensi saham yang membikin investornya menjadi begitu galau!

Kasus di atas memperlihatkan bahwa transaksi afiliasi, seperti yang dilakukan oleh direktur AISA, memang rawan terhadap praktik "fraud", mengingat terdapat benturan kepentingan di dalamnya.

Transaksi semacam ini memang sulit diketahui di laporan keuangan, terutama kalau manajemen berupaya memalsukan informasi di dalamnya. Meski begitu, secermat apapun upaya manajemen menutupi kebohongan di dalam laporannya, pada akhirnya kebenaran akan terkuak juga!

***

"Fraud" yang terjadi di dalam perusahaan publik merupakan salah satu risiko yang cukup menghantui para investor. Risiko ini bisa muncul karena investor, terutama yang hanya menggenggam sedikit saham mempunyai keterbatasan untuk mengintip isi "dapur" perusahaan. 

Hal inilah yang membuat penilaian yang bisa diambil investor umumnya hanya sebatas di permukaan saja.

Meski begitu, serapi apapun "fraud" yang berusaha disembunyikan, masih ada tanda-tanda yang bisa dikenali, sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya. 

Dengan mengetahui tanda-tanda tersebut, investor bisa mendeteksi kemungkinan terjadinya fraud sedini mungkin, sehingga investasi yang dilakukan bisa berjalan dengan aman dan nyaman.

Salam.

Referensi:

Kasus Eks Direksi TPS Food Disebut-Sebut 'Human Fraud' Investor.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun