Peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada hari ini terbilang "sepi". Jika pada tahun-tahun sebelumnya, Hari Buruh selalu diwarnai dengan aksi demo, kini tidak ada satu pun buruh yang turun ke jalan.
Pandemi Corona yang melanda tanah air sepertinya "memaksa" para buruh untuk meniadakan aksi unjuk rasa. Alhasil, sejumlah poster, spanduk, dan orasi yang mungkin telah disiapkan hanya bisa disimpan rapi di rumah masing-masing.
Meski begitu, cerita tentang peringatan Hari Buruh belum selesai begitu saja. Sebab, masih ada sejumlah isu ketenagakerjaan yang cukup menyita perhatian.
Di antaranya ialah rancangan Omnibus Law yang sedang digodok pemerintah. Jika jadi menggelar demo pada tahun ini, mungkin para buruh akan lebih vokal menyampaikan penolakan terhadap rancangan tersebut dalam orasinya.
Alhasil, hal itu kemudian menjadi polemik di masyarakat, dan membuat pemerintah mempertimbangkan kembali draf Omnibus Law yang sedang disiapkan.
Biarpun rancangan Omnibus Law menyangkut kehidupan buruh secara langsung, namun, di samping topik tersebut, sebetulnya masih ada hal lain yang perlu disuarakan dalam perayaan Hari Buruh. Di antaranya adalah Employee Stock Ownership Program (ESOP).
Jika dicermati dari demo buruh pada tahun-tahun sebelumnya, isu tersebut tidak begitu terdengar. Sepertinya para buruh lebih fokus menuntut kenaikan gaji daripada mempersoalkan pembagian saham perusahaan.
Padahal, ESOP dinilai cukup penting karena bisa menumbuhkan rasa kepemilikan atas perusahaan. Kalau mendapat jatah saham, bukankah para buruh akan lebih bertanggung jawab atas pekerjaannya karena yang bersangkutan bakal menjadi pemilik, serta bisa ikut menikmati laba yang dicetak perusahaan?
Walaupun ESOP bukan hal yang baru, namun, di Indonesia, hanya ada sedikit perusahaan yang memberikan saham kepada para karyawannya. Saham tadi biasanya baru diberi ketika perusahaan mau melakukan Initial Public Offering.
Agar saham yang akan dirilis tadi terserap sepenuhnya, sepupu saya kemudian ditawari oleh manajemen untuk membeli saham perusahaan tersebut. Ia pun memborong beberapa lot saham tadi. Sejak saat itu, ia pun "resmi" menjadi karyawan sekaligus bos dari perusahaan tersebut.
Sekarang sepupu saya sudah berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Namun, ia tetap berstatus sebagai "owner" sebab yang bersangkutan masih menyimpan sahamnya sampai sekarang.
Walaupun tidak diberikan secara gratis, namun, kepemilikan saham tadi bisa ikut membantu kesejahteraan karyawan. Sebab, karyawan dapat menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan lewat pembagian dividen.
Selain itu, kalau perusahaan memperlihatkan kinerja yang baik, tentu harga sahamnya akan diapresiasi, sehingga hal itu akan memberi keuntungan yang lebih besar bagi karyawan yang memengang sahamnya.
Kriteria Layak Investasi
Dalam ranah investasi saham, ESOP menjadi salah satu pertimbangan yang dipakai untuk menilai kualitas sebuah perusahaan. Kalau para karyawannya berani memegang saham perusahaannya dalam jangka panjang, itu tandanya mereka percaya bahwa kondisi perusahaan sedang bagus-bagusnya, sehingga menyimpan saham tersebut bisa memberikan lebih banyak keuntungan.
Makanya, beberapa manajer investasi, seperti Peter Lynch, suka menyelidiki porsi kepemilikan saham yang dipegang oleh para karyawan perusahaan. Menurutnya, semakin besar porsi saham yang dimiliki karyawan, maka semakin layak saham tersebut untuk dibeli.
Saat memilih saham, saya pun mempertimbangkan hal tadi. Saya biasanya akan mencari tahu semua informasi tentang para pemegang saham di dalam perusahaan tersebut, serta mencermati porsi saham yang mereka simpan.
Jika porsi yang dimiliki oleh para pemegang saham utama jumlahnya besar, katakanlah sampai 80%, ini adalah tanda mereka mempunyai keyakinan yang kuat bahwa prospek perusahaan bakal terus cerah, sehingga mereka mau mempertahankan atau bahkan menambah kepemilikan sahamnya.
Sebaliknya, jika jumlahnya lebih sedikit daripada saham yang beredar di masyarakat, saya biasanya "waswas". Sebab, kalau pemegang saham utamanya saja cuma berani memegang sedikit, maka yang bersangkutan boleh jadi "meragukan" kemampuan perusahaan untuk terus bertumbuh pada masa depan.
Sedikitnya porsi kepemilikan tersebut bisa berujung "bencana" bagi para investor kalau suatu hari nanti terjadi masalah yang serius di perusahaan. Sudah ada cukup banyak kasus yang menunjukkan hal ini.
Sebut saja kasus PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk (TPMI) yang terjadi pada tahun lalu. Kasus ini bermula ketika perdagangan saham TPMI disuspensi oleh BEI karena perusahaan belum membayar denda akibat terlambat mempublikasi laporan keuangan. Alhasil, sejak tahun 2017, saham TPMI pun tidak dapat diperjual-belikan, dan ada banyak investor ritel yang "terjebak" di dalamnya.
Hal ini bisa terjadi karena porsi saham yang dimiliki masyarakat mencapai 99%, sementara sisanya dipegang oleh lembaga. Oleh sebab itu, sudah sejak lama, TPMI sebetulnya tidak mempunyai pemegang saham pengendali, sehingga tidak ada yang bertanggung jawab atas masalah yang menimpa perusahaan.
Imbasnya? Pada tahun 2019, BEI memutuskan "mendepak" saham TMPI dari papan perdagangan. Alhasil, investor ritel yang memiliki saham TMPI pun hanya bisa "gigit jari" lantaran modalnya tidak jelas rimbanya. Â
Agar terhindar dari kasus serupa, sebelum berinvestasi di sebuah saham, investor tentu perlu menyelidiki siapa-siapa saja yang menjadi pemegang saham di perusahaan, serta mengetahui seberapa besar jumlah saham yang dimiliki. Jangan sampai karena dianggap sepele, hal ini malah menimbulkan kerugian pada kemudian hari.
***
Dari uraian di atas kita tentu bisa menyimpulkan bahwa informasi tentang kepemilikan saham ternyata cukup penting diketahui.Â
Bagi karyawan, kepemilikan saham mempunyai makna lebih. Setiap lembar saham yang dimiliki karyawan menjadi sebuah bukti tanggung jawab, kepercayaan, dan loyalitas terhadap perusahaan.
Sementara bagi investor, hal itu juga bermakna sama, karena karyawan yang bersedia membeli dan menyimpan saham perusahaan tempat ia bekerja memperlihatkan adanya prospek bisnis yang bagus. Dengan demikian, perusahaan tersebut tentu bisa menjadi pilihan investasi yang baik.
Salam.
Referensi:Â cnbcindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H