Namun, pada tahun 1998, BCA nyaris kolaps setelah terjadi penarikan dana nasabah secara besar-besaran.
Maklum, pada saat itu, situasi memang sangat kacau, sehingga ada banyak nasabah yang berbondong-bondong mencairkan tabungannya karena khawatir tabungan mereka hangus jika BCA bangkrut.
Akibat mengalami masalah likuidasi, BCA pun menjadi "pasien" Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BPPN kemudian mengundang sejumlah investor strategis untuk mengambil alih BCA sebab Grup Salim mengaku sudah "angkat tangan".
Wajar, Grup Salim memang menderita kerugian yang sangat besar akibat krisis moneter, sehingga terpaksa melego bisnis yang sudah dimilikinya untuk melunasi utang yang membludak.
Tidak disebutkan secara spesifik alasan keluarga Hartono membeli saham BCA.
Banyak yang menyebut pembelian tadi sangat berisiko.
Betapa tidak, dalam kondisi demikian, BCA rentan mengalami kebangkrutan, sehingga miliaran rupiah yang digelontorkan untuk membeli BCA bisa menyusut tajam kalau hal itu sampai terjadi.
Namun, Hartono bersaudara tampaknya mempunyai pandangan yang berbeda.
Sepertinya mereka melihat potensi tersembunyi yang dimiliki oleh BCA, yaitu kekuatan mereknya.