Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Senangnya Dapat Rp 7,5 Triliun secara "Gratis"

16 April 2020   09:01 Diperbarui: 16 April 2020   09:09 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keluarga Hartono/ sumber: https://bali.tribunnews.com

Di tengah wabah Corona, ternyata masih ada "berkah" yang bisa didapat bagi para pemegang saham.

Sebab, pada bulan April ini, sejumlah perusahaan publik mengumumkan pembagian dividen untuk tahun buku 2019.

Di antara sekian banyak perusahaan tadi, yang cukup menarik perhatian ialah Bank BCA.

Bank dengan kapitalisasi terbesar di Indonesia ini memutuskan memberikan dividen sebesar 13,69 triliun rupiah.

Lebih dari separuh dividen tadi bakal diterima oleh PT Dwimuria Investama Andalan.

Perusahaan investasi yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh Hartono bersaudara ini mendekap 13,5 miliar saham Bank BCA, sehingga wajar kalau perusahaan tadi memperoleh jumlah dividen yang lebih besar.

Alhasil, dari pembagian dividen saja, Hartono bersaudara bisa mengantongi keuntungan sebesar 7,5 triliun rupiah!

Tentu saja keuntungan tadi akan menambah pundi-pundi kekayaan yang dimiliki keluarga Hartono.

Biarpun ada banyak nama orang terkaya yang menyusut jumlah hartanya akibat wabah Corona, namun, keluarga yang menjadi pemilik Grup Djarum ini diperkirakan tetap konsisten menumpuk kekayaan, mengingat hartanya sebagian besar berasal dari saham-saham yang terus meningkat nilainya dari waktu ke waktu.

Dengan demikian, boleh jadi, nama keluarga Hartono akan lebih lama "bercokol" di peringkat teratas orang terkaya di Indonesia.

dividen/ sumber: https://stockanalysis.com
dividen/ sumber: https://stockanalysis.com
Mungkin dividen yang terima keluarga Hartono terdengar begitu "menggiurkan".

Betapa tidak, siapa yang akan menolak jika diberi uang senilai 7,5 triliun rupiah secara "gratis"?

Namun demikian, di balik cerita manis yang dialami keluarga Hartono, sebetulnya ada pelajaran berharga soal berpikir dan berinvestasi jangka panjang.

Semua itu dimulai ketika Bank BCA terancam bubar pada tahun 1998 silam.

Sejarah BCA

Kita tahu, sebelumnya, BCA adalah perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Salim.

Jika membaca sejarahnya, dulunya, Grup Salim mempunyai tiga buah bank.

Nah, di antara ketiga bank tadi, hanya Bank BCA yang paling "bermasalah" baik dari segi keuangan maupun manajemen.

Sebagai owner, Sudono Salim (Lim Sie Liong) kemudian merekrut Muchtar Riady untuk membenahi BCA.

Keputusan ini tepat, sebab di tangan Muchtar, BCA mulai bangkit dari keterpurukan.

Satu per satu masalah diselesaikan, dan pelayanan terus ditingkatkan.

Alhasil, bank ini pun berhasil menarik banyak nasabah dan berkembang dengan sangat baik.

Namun, pada tahun 1998, BCA nyaris kolaps setelah terjadi penarikan dana nasabah secara besar-besaran.

Maklum, pada saat itu, situasi memang sangat kacau, sehingga ada banyak nasabah yang berbondong-bondong mencairkan tabungannya karena khawatir tabungan mereka hangus jika BCA bangkrut.

Akibat mengalami masalah likuidasi, BCA pun menjadi "pasien" Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

BPPN kemudian mengundang sejumlah investor strategis untuk mengambil alih BCA sebab Grup Salim mengaku sudah "angkat tangan".

Wajar, Grup Salim memang menderita kerugian yang sangat besar akibat krisis moneter, sehingga terpaksa melego bisnis yang sudah dimilikinya untuk melunasi utang yang membludak.

krisis moneter 1998/ sumber: https://grid.id
krisis moneter 1998/ sumber: https://grid.id
Dari situlah cerita pangambilalihan Bank BCA oleh keluarga Hartono dimulai.

Tidak disebutkan secara spesifik alasan keluarga Hartono membeli saham BCA.

Banyak yang menyebut pembelian tadi sangat berisiko.

Betapa tidak, dalam kondisi demikian, BCA rentan mengalami kebangkrutan, sehingga miliaran rupiah yang digelontorkan untuk membeli BCA bisa menyusut tajam kalau hal itu sampai terjadi.

Namun, Hartono bersaudara tampaknya mempunyai pandangan yang berbeda.

Sepertinya mereka melihat potensi tersembunyi yang dimiliki oleh BCA, yaitu kekuatan mereknya.

Dengan merek yang sudah dikenal luas dan layanan yang prima, bank ini berpeluang bisa bangkit, biarpun situasinya sedang buruk.

Jadi, dalam jangka panjang, menurut mereka, bank ini bisa terus berkembang seperti sebelumnya.

Keputusan ini ternyata tepat.

Seperti yang diperkirakan Hartono bersaudara, BCA kemudian bertumbuh dari tahun ke tahun.

Buktinya, sejak menggelar IPO pada tahun 2000, saham BCA yang awalnya dihargai 1.400 kini melesat menjadi 27.000 rupiah/lembar.

Hikmah Berharga

Dari cerita tadi setidaknya saya mencatat tiga pelajaran yang bisa dipetik.

1. Krisis Adalah Waktu yang Tepat untuk Berinvestasi

Investasi yang bagus sering terjadi ketika ada krisis.

Buktinya, kalau tidak terjadi krisis pada tahu 1998 silam, tidak mungkin Grup Salim mau melepas BCA, dan tidak mungkin juga Hartono bisa mempunyai kesempatan untuk membeli BCA.

Krisis memang dapat menjadi musibah bagi sebagian orang.

Namun, di balik krisis, tersimpan sebuah "kesempatan emas" untuk berinvestasi, dan Hartono bersaudara berhasil menyambar kesempatan tadi dengan sebaik-baiknya.

2. Bedakan "Nekat" dengan "Berani"

Saat membeli saham BCA, ada yang menyebut bahwa Hartono bersaudara sudah melakukan hal yang "nekat", mengingat risiko yang ditanggung sangat besar karena berinvestasi di perusahaan yang sedang kritis.

Alih-alih menuai untung, bisa-bisa investasi yang dilakukan malah berujung sia-sia, jika BCA ternyata bangkrut pada akhirnya.

Namun, Hartono bersaudara tampaknya memandang bahwa kemunduran yang dialami BCA pada tahun 2000-an hanya bersifat sementara.

Dalam jangka panjang, dengan penanganan yang tepat, bisnisnya bisa bertumbuh dengan baik dan memberi kesejahteraan bagi banyak orang.

Apalagi bank ini juga mempunyai potensi terpendam, yang memungkinkannya bangkit dari keterpurukan.

Oleh sebab itu, kata "nekat" sebetulnya tidak cocok untuk menggambarkan investasi yang dilakukan oleh Hartono bersaudara.

Lebih tepatnya "berani", karena "berani" ialah mengambil keputusan dengan risiko yang terukur, sementara "nekat" hanya asal mengambil tindakan tanpa pertimbangan yang matang.

3. Bersabar dalam Berinvestasi

Hartono bersaudara sadar tidak akan langsung menuai untung yang besar saat memutuskan berinvestasi di BCA.

Sebab, mereka paham, perusahaan membutuhkan waktu untuk berproses.

Tidak ada kesuksesan yang terjadi secara instan.

Makanya, mereka terus menunggu dengan sabar hingga situasi membaik, dan sekarang kesabaran yang sudah mereka pupuk selama 20 tahun membuahkan hasil yang besar.

Hasil Investasi

Jadi, "dividen jumbo" yang diterima Hartono bersaudara pada tahun 2020 sebetulnya merupakan akumulasi hasil investasi yang mereka lakukan 20 tahun lalu.

Tentu keuntungan ini tidak didapat dengan gampang, mengingat dulu mereka juga menanggung risiko yang besar saat membeli saham BCA.

Risiko yang besar setimpal dengan hasil yang besar pula.

Oleh sebab itu, kalau sekarang keluarga Hartono memperoleh keuntungan yang besar dari BCA, hal itu sesungguhnya wajar-wajar saja.

Meski begitu, dari situ, kita jadi belajar meneladani gaya investasi yang dilakukan keluarga Hartono bahwa agar bisa memetik hasil yang manis pada kemudian hari, kita mesti berani berinvestasi sedini dan secermat mungkin.

Tertarik mengikuti jejak mereka?

Salam.

Referensi: kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun