Sebetulnya strategi ini cukup efektif menjaring pengguna, tetapi, sayangnya, belum mampu menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang solid untuk memperpanjang "napas" bisnis OVO beberapa tahun ke depan.
Padahal, pendapatan dan keuntungan adalah elemen penting yang menentukan kelanjutan suatu bisnis. Tanpa adanya pendapatan dan keuntungan, jangan harap suatu bisnis akan bertahan lama.
Hal itulah yang mungkin ditakutkan Mochtar Riady sewaktu melihat strategi "bakar uang" yang dilakukan manajemen OVO. Ketakutan tadi cukup beralasan.
Suatu saat, kalau modal investor sudah tipis, sementara pendapatan belum kunjung bertambah, bisnis yang dijalankan OVO bisa saja "kolaps" dan "tumbang". Kalau "skenario terburuk" itu terjadi, investor tentu saja akan dirugikan, baik dari segi modal maupun waktu.
Ibarat seorang anak yang bertumbuh, startup yang mulai berkembang mesti belajar mandiri tanpa terlalu banyak meminta suntikan modal dari para investornya. Jangan melulu minta "disuapi". Suatu saat, startup mesti mau cari makan sendiri.
Makanya, manajemen startup mesti berhenti menggunakan strategi "bakar uang", dan mulai mencari cara lain agar bisa mendatangkan pendapatan yang mantap.Â
Semua itu dilakukan supaya startup bisa terus bertahan di tengah persaingan bisnis yang keras.
Namun, di sisi lain, kekhawatiran Mochtar tentang nasib OVO juga mesti dilihat dari "kacamata" yang berbeda. Sebab, pada saat ini, OVO adalah pemimpin pasar untuk kategori dompet elektronik. Ovo bisa mengungguli rival-rivalnya dalam hal valuasi dan jumlah pengguna.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa waktu lalu, OVO mendapat "durian runtuh". Ingat regulasi tentang dompet elektronik yang ditetapkan pemerintah? Dari situlah keberuntungan OVO bermula.
Pada tahun 2018, untuk memastikan keamanan bertransaksi di masyarakat, Bank Indonesia merevisi regulasi tentang dompet elektronik. Segala macam dompet elektronik yang sudah dipakai masyarakat kemudian dibekukan dan diaudit oleh Bank Indonesia.