"Karena terus 'bakar uang', bagaimana kami kuat...."
Kalimat itu meluncur dari bibir Mochtar Riady dalam sebuah acara di Ballroom Djakarta Theater pada hari Kamis kemarin.Â
Di sela uraiannya, ia sempat menyinggung alasan Lippo Group melepas 70% saham OVO beberapa waktu lalu. Penjualan saham itu memang mengejutkan banyak pihak, termasuk saya pribadi.
Sebab, investor mana sih yang mau melego saham dari startup yang sudah menyandang status "Unicorn"?Â
Bukankah dengan valuasi yang mencapai lebih dari 1 miliar dollar, perusahaan itu akan mendulang banyak untung pada masa depan, sehingga sayang betul kalau sahamnya dijual begitu saja?
Boleh jadi, Mochtar Riady memiliki pandangan berbeda. Pendiri Lippo Group ini mungkin memandang bahwa strategi yang dijalankan oleh manajemen OVO sekarang hanya akan menjadi "bumerang" bagi perusahaan pada masa depan.
Dengan modal yang disetorkan investornya, manajemen OVO rutin menyelenggarakan beragam jenis promo untuk memikat hati konsumen.
Manajemen OVO memang menghabiskan cukup banyak modal dalam melaksanakan strategi tersebut. Konon, per bulan, manajemen sampai menggelontorkan 700 miliar rupiah untuk "memanjakan" para pengguna OVO dengan beragam jenis promo.
Hal itu belum termasuk biaya operasional, sehingga kalau ditotal, jumlahnya bisa melampaui angka yang disebutkan barusan.
Sebetulnya strategi ini cukup efektif menjaring pengguna, tetapi, sayangnya, belum mampu menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang solid untuk memperpanjang "napas" bisnis OVO beberapa tahun ke depan.
Padahal, pendapatan dan keuntungan adalah elemen penting yang menentukan kelanjutan suatu bisnis. Tanpa adanya pendapatan dan keuntungan, jangan harap suatu bisnis akan bertahan lama.
Hal itulah yang mungkin ditakutkan Mochtar Riady sewaktu melihat strategi "bakar uang" yang dilakukan manajemen OVO. Ketakutan tadi cukup beralasan.
Suatu saat, kalau modal investor sudah tipis, sementara pendapatan belum kunjung bertambah, bisnis yang dijalankan OVO bisa saja "kolaps" dan "tumbang". Kalau "skenario terburuk" itu terjadi, investor tentu saja akan dirugikan, baik dari segi modal maupun waktu.
Ibarat seorang anak yang bertumbuh, startup yang mulai berkembang mesti belajar mandiri tanpa terlalu banyak meminta suntikan modal dari para investornya. Jangan melulu minta "disuapi". Suatu saat, startup mesti mau cari makan sendiri.
Makanya, manajemen startup mesti berhenti menggunakan strategi "bakar uang", dan mulai mencari cara lain agar bisa mendatangkan pendapatan yang mantap.Â
Semua itu dilakukan supaya startup bisa terus bertahan di tengah persaingan bisnis yang keras.
Namun, di sisi lain, kekhawatiran Mochtar tentang nasib OVO juga mesti dilihat dari "kacamata" yang berbeda. Sebab, pada saat ini, OVO adalah pemimpin pasar untuk kategori dompet elektronik. Ovo bisa mengungguli rival-rivalnya dalam hal valuasi dan jumlah pengguna.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa waktu lalu, OVO mendapat "durian runtuh". Ingat regulasi tentang dompet elektronik yang ditetapkan pemerintah? Dari situlah keberuntungan OVO bermula.
Pada tahun 2018, untuk memastikan keamanan bertransaksi di masyarakat, Bank Indonesia merevisi regulasi tentang dompet elektronik. Segala macam dompet elektronik yang sudah dipakai masyarakat kemudian dibekukan dan diaudit oleh Bank Indonesia.
Regulasi yang ditetapkan pemerintah ternyata sangatlah ketat sehingga tidak semua dompet elektronik tadi lolos "sensor". Beberapa ada yang gagal memenuhi regulasi, di antaranya ialah TokoCash dan Grabpay.
Tentu saja hal itu menjadi persoalan serius bagi manajemen Tokopedia dan Grab. Kalau dompet elektronik mereka tidak diizinkan beroperasi, lantas, bagaimana proses transaksi di aplikasi bisa dilakukan?
Di tengah kebingungan itu, OVO muncul memberi solusi. Tokopedia dan Grab kemudian menjalin kerja sama dengan OVO untuk mempermudah proses transaksi yang dilakukan konsumen.Â
Jadilah, semua konsumen Tokopedia beralih memakai OVO. Hal yang sama juga terjadi pada Grab.
Jumlah pengguna OVO pun naik secara signifikan. Hal itu bisa dipandang sebagai "hadiah" atau malah "masalah". Disebut "hadiah" karena dalam waktu singkat, OVO bisa merajai pasar dompet elektronik di masyarakat. Sungguh jarang ada perusahaan baru yang langsung melesat kinerjanya dalam waktu singkat.
Disebut "masalah" karena manajemen OVO mesti menyiapkan anggaran ekstra seiring dengan membludaknya jumlah pengguna.Â
Manajemen mesti mencari investor lain atau menerbitkan saham baru agar memperoleh dana segar untuk membiayai program yang dijalankan.
Dengan keunggulan tadi, boleh jadi, orang-orang akan berkata, "OVO is too big to fail." Kalau bisa terus melebarkan sayap, sepertinya OVO akan jauh dari kebangkrutan.
Alih-alih layu, boleh jadi, OVO malah akan berkembang merajai pasar dompet elektronik pada masa depan. Jika hal itu terjadi, sepertinya kekhawatiran Mochtar Riady atas keberlangsungan nasib OVO bisa dinetralisirkan.
Meski begitu, di dalam dunia bisnis, semua hal serba tidak pasti. Tidak ada satu pun yang bisa memberi jaminan atas kelanggengan suatu perusahaan. Sudah ada beberapa contoh perusahaan yang dulunya disebut "too big to fail", kini malah terseok-seok untuk terus bertahan hidup.
Penjualan saham OVO yang dilakukan Lippo Group sebetulnya membuka "pintu" bagi investor lain. Hanya saja, investor yang ingin masuk menanamkan modal di OVO mesti lebih selektif.
Investor harus bisa memperkirakan perjalanan investasi yang dilakukannya. Kalau melihat prospeknya cerah, dan akan ada "cerita bahagia" di di ujung investasi, investor bisa mengajukan suntikan modal kepada OVO.
Sementara, kalau yang terlihat adalah "kabut tebal" yang bikin waswas, sebaiknya investor menjauh dan mencari alternatif investasi lain.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H