Penerapan instrumen tersebut tentu bukan hal yang mudah. Perbankan jelas memerlukan waktu untuk mengadaptasinya. Makanya, begitu sinyal awal perlambatan ekonomi "berbunyi", bank diberi waktu paling lambat 12 bulan untuk menambah permodalan. Dengan demikian, risiko kebangkrutan, seperti yang dialami Lehman Brothers bisa dikurangi.
Kebijakan BI lain yang sifatnya makroprudensial adalah dilarangnya bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Saat BI mengeluarkan kebijakan tadi pada penghujung tahun 2017, pasar bitcoin memang sedang "bergairah".
Pada Bulan September, saat saya masuk ke pasar bitcoin, harganya masih 50 jutaan rupiah per keping. Dua bulan kemudian harganya langsung "terbang" jadi 250 jutaan! Bisa dibayangkan hanya dalam 2 bulan saja kenaikannya mencapai 500%!
BI kemudian memandang bahwa perdagangan bitcoin tadi bersifat spekulatif. Tanpa didasari fundamental yang jelas, pasar bitcoin telah jadi "arena judi". Sebab, orang-orang membeli bitcoin karena ikut-ikutan saja, dan hal itu dikhawatirkan menciptakan "bubble" seperti pasar properti di Amerika Serikat sebelum krisis ekonomi 2008.
Untuk menghindari masyarakat dari kerugian dan menjaga stabilitas sistem keuangan, BI kemudian mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan bitcoin sebagai alat tukar. Bitcoin yang tadinya bisa dipakai membeli barang akhirnya kehilangan fungsinya. Setelah peraturan tadi disampaikan, pasar bitcoin pun "runtuh" pada tahun 2018. Ratusan juta rupiah "menguap" akibat peristiwa tadi.
Dari kasus bitcoin, sebetulnya sudah mulai tampak bahwa "tsunami ekonomi" yang terjadi pada masa depan mungkin akan banyak berasal dari produk-produk yang diperdagangkan secara daring (online), seperti cryptocurrency.
Meskipun melarang sebagai alat tukar, bukan berarti BI turut "memberangus" perdagangan cryptocurrency. Perdagangan tadi masih boleh dilakukan. Makanya, sampai tulisan ini dibuat, bitcoin dan kawan-kawannya bebas diperjualbelikan di pasar masing-masing.
Bagaimanapun, krisis keuangan adalah sebuah keniscayaan. Ia akan selalu terjadi di mana pun dan kapan pun. Kita sulit menolak kedatangan krisis tadi. Namun, bukan berarti kita tidak bisa mengantisipasinya.