Kemudian, iseng-iseng saya bertanya, apakah ia tertarik jadi petani suatu saat nanti mengingat orangtuanya punya sawah di kampung. Fauzi hanya tertawa. "Sepertinya enggak, bro," katanya. "Gue ingin kerja di sektor lain aja. Bertani itu enggak ada duitnya."
Perkataan tadi semakin mempertegas bahwa Indonesia sedang "darurat petani". Namun, Indonesia tidak sendirian. Masih ada negara lain yang juga mengalami persoalan serupa. Jepang misalnya.
Baru-baru ini Kontan merilis sebuah artikel yang menunjukkan bahwa anak muda di Jepang cenderung berkarier sebagai karyawan kantor daripada petani. Profesi karyawan kantor dianggap lebih "menjanjikan" secara finansial dan mampu mengangkat martabat seseorang.
Jadi, jangan heran, petani di Jepang pada tahun 2019 hanya berjumlah sekitar 2 juta jiwa, berkurang 9 juta jika dibandingkan pada tahun 1965. Jumlah itu pun mayoritas "dihuni" oleh lansia, yang rata-rata telah menginjak kepala enam.Â
Untuk mengatasi kesenjangan tenaga di pertanian, Pemerintah Jepang sampai melakukan terobosan: menggunakan drone untuk penaburan benih, pemupukan, penyemprotan pestisida, dan bahkan pengangkutan hasil panen. Penggunaan teknologi tersebut diharapkan dapat menutupi keterbatasan sumber daya manusia di sektor pertanian.
Solusi Masalah Pertanian
Biarpun segan turun ke sawah atau kebun, bukan berarti anak muda tidak bisa memberi solusi atas masalah pertanian yang terjadi. Kini telah muncul sejumlah startup berbasis pertanian yang "dimotori" anak muda.
Sebut saja Igrow. Igrow adalah marketplace yang mempertemukan investor dan para petani. Dengan mengusung konsep peer-to-peer lending, Igrow mencoba mengatasi beragam masalah yang kerap membayangi petani, seperti modal kerja. Sejak September 2014, Igrow telah menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 130 miliar kepada para petani.
Tak hanya membantu permodalan, manajemen Igrow juga memberdayakan para petani dengan tambahan ilmu pertanian termuktahir. Menurut Jim Oklahoma, Chief of Business Development Igrow, kebanyakan petani yang dibina belum terkena moderenisasi dan masih menggunakan cara tanam yang konvensional.
Untuk itulah, Igrow kemudian menjalankan program sertifikasi bagi para petaninya. Mereka dibekali pelatihan keterampilan yang mencakup sepuluh kompetensi selama 3-6 bulan. Setelah lulus, barulah mereka mendapat pendanaan.
Apa yang dilakukan oleh Igrow dan perusahaan sejenis lainnya jelas sejalan dengan Revolusi Industri 4.0 yang digagas pemerintah. Dengan menggunakan teknologi, masalah di sektor pertanian bisa diurai dan diatasi. Sedikit-banyak hal tersebut ikut mengangkat taraf hidup para petani.