Kalau diuraikan secara lebih rinci, mungkin ada tiga risiko utama yang sering "menghantui" petani.
Yang pertama adalah risiko gagal panen. Harus diakui, tidak semua kegiatan pertanian punya cerita yang indah pada akhirnya. Seperti yang saya alami, ada waktunya petani waswas menghadapi beragam kemungkinan yang bisa menyebabkan gagal panen.
Hama, cuaca, dan bencana alam bisa menjadi ancaman serius yang mengintai sewaktu-waktu. Secermat apapun upaya pencegahan yang dilakukan, kalau memang sudah waktunya terjadi, ya terjadi. Musibah memang sulit sekali ditolak, dan jika sudah begitu, petani mesti siap memetik banyak kerugian: rugi waktu, rugi tenaga, dan tentunya rugi biaya.
Yang kedua adalah masalah distribusi. Upaya distribusi produk pertanian memang masih terbatas di kalangan petani. Maklum, selama ini, para petani sering "terbelenggu" oleh sistem distribusi yang kurang sehat. Pasalnya, tengkulak kerap "menggencet" harga jual produk pertanian.
Akibatnya, petani tidak mendapat harga yang adil atas kerja kerasnya. Hal itu jelas menambah beban yang dipikul para petani. Sudah bertani itu susahnya bukan main, tapi begitu hasilnya jadi, jerih payahnya tidak dihargai dengan pantas!
Yang ketiga adalah soal permodalan. Seperti bisnis pada umumnya, sektor pertanian juga butuh modal. Bila diibaratkan, modal adalah "napasnya" bisnis pertanian. Tanpa modal yang mumpuni, jangan harap roda traktor akan berputar, pupuk berkualitas akan mudah didapat, dan para petani akan hidup dengan nyaman.
Sayangnya, mendapatkan modal itu tidaklah gampang. Bank belum tentu berani kasih pinjaman kalau tidak ada jaminan. Kalau pemilik sawah tentu bisa "menyekolahkan" sertifikat tanahnya untuk memperoleh modal dari bank. Namun, bagaimana kabarnya dengan para buruh tani, yang hidupnya hanya bergantung pada sistem bagi hasil dengan pemilik sawah? Mereka itulah yang jarang "tersentuh" oleh perbankan.
Masalah Regenerasi Petani
Persoalan-persoalan itulah yang bikin anak muda enggan merintis karier di bidang pertanian. Mereka lebih memilih profesi lain, macam guru atau karyawan kantor. Hal itu kemudian menimbulkan masalah regenerasi petani. Orang yang berprofesi jadi petani semakin langka, dan kalau terus terjadi, hal itu bisa mengancam sektor pertanian tanah air.
Seorang teman saya, Fauzi namanya, juga sempat menyinggung soal itu beberapa waktu lalu. Dalam obrolan santai, ia bercerita tentang kondisi para petani di kampung halamannya, Lamongan, Jawa Timur.
"Para petani di kampung gue umumnya sudah tua," katanya. "Enggak ada yang mau menggantikan mereka karena anak-anak mudanya lebih memilih merantau ke kota daripada bertani. Makanya, jumlah petani di kampung gue berkurang drastis!"