Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Andaikan Alfonso Cuaron Berinvestasi Saham

28 Februari 2019   10:09 Diperbarui: 28 Februari 2019   11:29 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alfonso Cuaron saat memenangi Piala Oscar (sumber foto: kompas.com)

Usai memenangi Piala Oscar 2019, Alfonso Cuaron sempat memberi pernyataan unik. Sutradara asal Meksiko tersebut mengaku tidak pernah menonton film yang dibesutnya. Setelah filmnya selesai diproduksi, ia berkata lebih senang menyaksikan film orang lain alih-alih filmnya sendiri.

Cuaron agaknya tipikal sutradara yang enggan memikirkan hasil akhir dari karyanya. Ia hanya fokus menggarap suatu proyek film, dan menyerahkan seluruh penilaian karyanya kepada masyarakat. Ia tidak mau ambil pusing atas komentar-komentar yang muncul dari karyanya. Makanya, begitu salah satu filmnya, yaitu Roma, ramai diperbincangkan, ia memilih "tidur", malas berkomentar terlalu banyak.

Sekilas, gaya kerja Cuaron dalam menangani suatu film mengingatkan saya pada salah satu gaya investasi dalam dunia saham, yaitu investasi nilai. Keduanya ternyata memiliki kemiripan. 

Keduanya lebih berfokus pada proses tanpa terlalu merisaukan hasil. Keduanya percaya bahwa kalau semua proses dijalani dengan benar, hasil terbaik bisa didapat. Sederhananya, proses tidak akan pernah "mengkhianati" hasil.

Makanya, dalam menyeleksi saham, investor yang memegang gaya investasi ini senang mencari saham-saham berkualitas bagus, yang dijual dengan harga murah. Seleksi saham yang dilakukan pun sangat ketat. Ada begitu banyak aspek yang menjadi bahan pertimbangan sebelum investor yang bersangkutan memboyong sebuah saham.

Mengapa? Karena investor tersebut tidak berencana memperjual-belikan saham dalam waktu singkat. Setelah menemukan saham demikian, mereka biasanya akan menyimpannya selama beberapa tahun atau beberapa dekade. Jadi, mindset mereka bersifat jangka panjang.

investasi nilai atau value investing (sumber foto: benzinga.com/shutterstock_87798997.jpg)
investasi nilai atau value investing (sumber foto: benzinga.com/shutterstock_87798997.jpg)
Warren Buffett termasuk investor yang menganut gaya investasi seperti ini. Ia umumnya akan membeli saham yang sedang turun harganya secara besar-besaran, dan kemudian memegangnya selama bertahun-tahun.

Satu saham yang dikoleksinya ialah Coca-Cola. Saham tersebut dibelinya pada tahun 1988, saat harganya jatuh menyentuh 2 dollar per lembar saham, dan ia masih menahannya sampai sekarang. Jadi, secara keseluruhan, ia telah memiliki saham tadi selama 30 tahun, dan terus meraih keuntungan berlipat ganda sejak ia membelinya karena saham tersebut kini dihargai 44 dollar alias naik 22 kali lipat!

Sampai sekarang tak ada tanda-tanda dari Buffett bahwa ia akan menjual saham tersebut. Jadi, tak ada yang tahu sampai kapan ia akan terus mengoleksinya. Makanya, saat ditanya sampai kapan ia akan terus menyimpannya, dengan spontan, ia berkata, "Selamanya!"

Dalam memilih saham, Buffett cenderung menomorsatukan proses. Ia jarang sekali memedulikan kondisi makro ekonomi di Amerika Serikat. Ia seolah menutup telinga saat banyak tersebar kabar buruk yang sanggup "menggetarkan" pasar modal. Ia hanya percaya pada kualitas perusahaan yang dimilikinya.

Jadi, saat semua orang gaduh terhadap sebuah isu besar, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Buffett cenderung mengawasi kinerja bisnis perusahaan yang dibelinya alih-alih ikut meributkan kabar tersebut. Ia akan terus memastikan perusahaan melewati semua proses, dan kalau semua proses dijalani dengan baik, hasilnya tentu akan bagus.

Seperti Cuaron yang sabar mengerjakan karya-karyanya, Buffett juga terbiasa mengendalikan emosi-emosinya. Saat harga saham-saham yang dibelinya jatuh, dengan sabar, ia terus genggam saham tadi dengan keyakinan bahwa suatu saat nanti harganya akan berbalik naik.

Warren Baffett, investor saham yang menganut value investing (sumber foto: cnbc.com)
Warren Baffett, investor saham yang menganut value investing (sumber foto: cnbc.com)
Makanya, begitu mendengar kabar buruk yang "bergentayangan" di pasar modal, dan melihat banyak orang yang panik menjual saham-saham mereka, Buffett hanya duduk tenang, tidak ikut-ikutan mengobral sahamnya dengan harga murah. Justru kalau ia menjual saat orang-orang dilanda ketakutan, ia telah melakukan kesalahan investasi.

Aliran investasi lain yang juga dianut oleh investor pasar modal ialah investasi pertumbuhan. Investor tipe ini biasanya mencari dan membeli saham yang bertumbuh. Mereka umumnya mengabaikan valuasi harga yang ditampilkan.

Makanya, mereka tidak keberatan membeli saham yang rasio harganya (price earning ratio) sudah mencapai lebih dari 20 kali. Mereka beralasan, "Barang yang bagus tidak pernah dihargai murah." Harga saham yang relatif mahal tentu sebanding dengan potensi keuntungan yang bisa didapat.

Berbeda dengan gaya investasi nilai, investasi pertumbuhan menekankan keuntungan jangka pendek. Investor yang menganut gaya ini umumnya akan memperjual-belikan saham dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. 

Jarang sekali mereka menahan saham hingga lebih dari tiga tahun. Sebab, begitu saham yang sudah dibelinya menghasilkan keuntungan, mereka biasanya langsung menjualnya. Tak ada alasan untuk memegangnya lebih lama, karena mereka takut harganya suatu saat akan turun.

investasi pertumbuhan atau growth investing (sumber foto: quoracdn.net)
investasi pertumbuhan atau growth investing (sumber foto: quoracdn.net)
Saya pribadi menganut aliran investasi pertumbuhan. Saya merasa lebih nyaman dengan filosofinya. Bahwa saham yang bertumbuh dan bagus selalu dihargai lebih mahal.

Makanya, dalam memilih saham untuk investasi, saya jarang mencermati rasio harganya. Saya lebih memerhatikan pertumbuhan laba-nya daripada harganya. Kalau laba-nya terus bertumbuh dari waktu ke waktu, saya cenderung membelinya, biarpun harganya sudah dihargai terlalu "mahal".

Saya ingat membeli saham sebuah perusahaan jamu pada bulan November 2018 karena tertarik melihat pertumbuhan laba-nya. Baik di laporan triwulan maupun di laporan tahunan, laba-nya terus meningkat.

Selain itu, prospeknya juga cerah. Perusahaan akan mengoperasikan pabrik baru di kawasan Semarang pada tahun 2019 untuk menggenjot produksi, dan hal itu tentu berpotensi meningkatkan laba-nya pada masa depan. Kalau produksi bertambah, penjualan dan laba juga bisa ikut terdongkrak jumlahnya.

Atas pertimbangan itulah, saya kemudian mengalokasikan dana sekitar 8 juta rupiah untuk membeli sahamnya. Oleh karena saya beli di harga 800-an per saham, saya dapat 10.000 lembar saham. Sejak saat itu, saya "tidurkan" saham tadi beberapa bulan.

Awalnya harga saham tersebut tidak langsung melejit. Selama beberapa bulan harganya cenderung naik-turun. Saat harganya naik 4%, tetap saya tahan saham tersebut. Keuntungannya masih terlalu kecil. Jadi, kalau saya lepas saham tadi dengan keuntungan demikian, hasil yang saya dapat sedikit sekali, beberapa ratus ribu rupiah saja.

Sebaliknya, saat harganya anjlok, saya tidak panik. Saya terus mengoleksinya, biarpun pernah pada suatu hari, di bulan Desember, harganya tiba-tiba "runtuh" hingga 10% dari harga beli.

Keuntungan baru saya peroleh setelah perusahaan merilis laporan keuangan tahunan pada bulan Februari ini. Laporan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan mengalami pertumbuhan laba. Oleh karena profitnya bertumbuh 24% dari tahun sebelumnya, harga sahamnya pun ikut-ikutan "terbang".

Harga sahamnya melonjak 25% dari harga beli dan dari situ, saya dapat untung lumayan banyak. Sampai sekarang saya masih terus menyimpan saham tadi karena saya tahu bahwa beberapa bulan ke depan harga masih bisa naik lebih tinggi lagi.

Kalau saya menganut aliran investasi nilai, mungkin saya akan mengabaikan saham tersebut. Sebab, pada saat saya beli, rasio harganya sudah 19 kali. Relatif mahal memang kalau kita mengacu pada rata-rata rasio harga saham di bursa saham Indonesia yang berada di kisaran 15 kali. 

Namun, oleh karena melihat potensi pertumbuhannya, saya "nekat" membelinya. Asalkan bisa bertumbuh, tidak ada alasan untuk tidak membelinya.

Aliran investasi tertentu, apakah itu investasi nilai atau investasi pertumbuhan, bisa dipilih berdasarkan kecocokan. Semuanya sesuai "selera" masing-masing. Bagi orang yang mempunyai "stamina" dan "kesabaran" yang kuat, seperti Buffett, investasi nilai mungkin cocok baginya. Dengan demikian, ia dapat membeli saham dan terus menyimpannya untuk waktu yang sangat lama.

Sebaliknya, kalau seseorang menginginkan keuntungan dalam waktu relatif singkat, ia bisa menerapkan aliran investasi pertumbuhan. Ia bisa memilih saham-saham tertentu yang bisa terus bertumbuh dalam waktu dekat. Dengan begitu, keuntungan besar bisa dipetik dalam waktu relatif singkat.

Salam.

Adica Wirawan founder of Gerairasa

Referensi:

hot.detik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun