Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

"Bercerai" dengan Saham Perusahaan Batu Bara

27 November 2018   10:09 Diperbarui: 27 November 2018   12:18 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: biz.kompas.com

Perceraian tak hanya terjadi di kalangan selebriti, tetapi juga di dunia saham. Sudah sebulan terakhir, saya mengamati ada begitu banyak investor yang menyudahi hubungan "mesra"-nya dengan saham tertentu, khususnya saham produsen batu bara. Alih-alih menahannya lebih lama, mereka beramai-ramai mengobralnya, hingga harga sahamnya jatuh ke "titik nadir".

Hal itu tentunya bisa dimaklumi. Sebab, sampai tulisan ini dibuat, harga batu bara memang terus anjlok, dari yang harganya $ 119/metrik ton pada bulan Juni 2018 ke harga $ 101/ metrik ton pada bulan November 2018. 

Tidak ada yang tahu seberapa dalam harganya akan terus jatuh. Jadi, daripada membiarkan portofolio sahamnya "berdarah-darah", investor memilih mengikhlaskannya. Barangkali "perceraian" adalah jalan terbaik untuk kedua belah pihak.

Hal itu memang sangat disayangkan. Padahal, beberapa bulan silam, sempat berembus "rumor" bahwa harga batu bara akan naik tajam jelang musim dingin. 

Pemicunya, Tiongkok, sebagai negara pengimpor batu bara terbesar di dunia, pasti akan memasok batu bara besar-besaran untuk menghadapi cuaca ekstrem.

Maklum, masyarakat Tiongkok memang biasa memakai batu bara sebagai penghangat ruangan. Batu bara dipilih lantaran harganya jauh lebih murah daripada bahan bakar lain. 

Oleh sebab itu, masyarakat Tiongkok membutuhkan lebih banyak stok batu bara untuk menghalau suhu dingin selama beberapa bulan.

Namun, ternyata "rumor" tersebut meleset. Tidak ada permintaan batu bara yang terlampau signifikan dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Masyarakat Tiongkok ternyata tidak terlalu memerlukan batu bara lantaran musim dingin yang datang saat ini tidak begitu ekstrem.

Semua itu bisa terjadi karena pengaruh El Nino. Fenomena alam itu menyebabkan suhu udara di sejumlah wilayah di Tiongkok menjadi lebih hangat pada musim dingin kali ini.

Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga sedang gencar membatasi konsumsi batu bara. Wajar, pemerintah di sana memang berupaya memperbaiki kualitas udara di sejumlah kota, seperti Beijing dan Shijiazhuang.

Selama beberapa tahun, kota-kota itu mendapat sorotan publik. Sebab, tingkat polusi udaranya terbilang tinggi. Sepanjang hari, masyarakat yang tinggal di kota tersebut hidup di bawah "bayang-bayang" kabut asap. Bisa dibayangkan betapa sesak masyarakat setempat akibat terus terpapar asap setiap hari.

Kabut asap itu sebagian berasal dari hasil pembakaran batu bara yang masif di pabrik dan di rumah. Oleh karena terus berlangsung selama bertahun-tahun, kadar polusi menjadi bertumpuk, dan kualitas udara di sana memburuk. Hal itu pun kemudian menimbulkan "bibit-bibit" penyakit saluran pernapasan bagi warga setempat.

sumber ilustrasi: http://disk.mediaindonesia.com/
sumber ilustrasi: http://disk.mediaindonesia.com/
Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah Tiongkok kemudian menjatah impor batu bara. Dengan demikian, polusi udara di sana bisa ditekan semaksimal mungkin. Sayangnya, hal itu berdampak besar pada harga batu bara dunia. Oleh karena permintaan turun, sementara stok berlimpah, harga batu bara menjadi murah meriah.

Hal itu jelas bukan kabar baik bagi produsen batu bara nasional. Pasalnya, "napas" perusahaan mereka sangat bergantung pada harga pasar. 

Kalau harga batu bara tidak kunjung naik, bisa-bisa ada banyak perusahaan batu bara yang gulung tikar, dan jika hal itu sampai terjadi, bagaimana nasib para pekerja yang menggantungkan hidup dari sana?

Menukiknya harga batu bara jelas berimbas pada harga saham beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia. Sebut saja saham ADRO. Saham yang dinaungi PT Adaro Energy Tbk tersebut melorot dari harga 1.745 pada tanggal 2 Juli 2018 hingga harga 1.275 pada 26 November 2018. Valuasi perusahaan pun menjadi sangat "murah" dengan Price Earning Ratio (PER) 7 kali.

Hal itu tentu jadi sebuah "anomali". Sebab, PT Adaro dikenal pemain "kelas kakap" di industri batu bara. Menurut data dari CNBC Indonesia, sepanjang tahun 2018, perusahaan itu mampu memproduksi 50 juta metrik ton batu bara. Jumlah yang tentunya sangat besar, tetapi, sayangnya, justru berbanding terbalik dengan harganya saat ini.

sumber ilustrasi: https://akcdn.detik.net.id/visual
sumber ilustrasi: https://akcdn.detik.net.id/visual
Saham lainnya yang juga terserat oleh turunnya harga batu bara ialah INDY (Indika Energy Tbk) dan PTBA (PT Tambang Batu Bara Bukit Asam). Secara fundamental, kedua perusahaan itu punya kualitas yang baik. 

Di tengah krisis harga seperti sekarang, manajemennya mampu menjaga arus kas. Biarpun penjualan agak seret, masih ada dana yang mengalir masuk ke "kantong" perusahaan.

Selain itu, utang kedua perusahaan itu juga terjaga baik. Tidak seperti perusahaan Bumi Resources, yang menanggung utang banyak, padahal bisnisnya sedang lesu, mereka memiliki rasio utang yang rendah (DER), yakni di bawah 1 kali.

Pengetatan "ikat pinggang" juga terus dilakukan. Efisiensi terjadi di hampir semua lini, dan manajemen mencoba mengatur supaya operasional dapat tetap berjalan dengan lancar meskipun "badai" harga batu bara seolah tak ada habis-habisnya menghajar ekonomi perusahaan.

Walaupun manajemen sudah berupaya maksimal menyelamatkan perusahaan, ternyata itu tak berpengaruh banyak pada tingkat kepercayaan investor. 

Sahamnya tetap berguguran karena investor pesimis memandang masa depan industri batu bara. Investor mungkin beralasan kalau prospek batu bara "suram" begitu, untuk apa terus mempertahankan saham emiten batu bara? Berduyun-duyunlah mereka "bercerai" dengan saham emiten batu bara.

Rontoknya harga batu bara tentunya juga berpengaruh pada perekonomian nasional. Sebab, selain kelapa sawit, batu bara adalah komoditas andalan Indonesia. Indonesia memang dikenal mempunyai cadangan batu bara yang berlimpah. 

Saking banyaknya, jumlahnya diprediksi baru akan habis 80 tahun kemudian. Sayangnya, hal itu ternyata bukan jaminan peningkatan ekonomi, terutama saat berlangsung krisis harga seperti sekarang ini.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi

Turun 0,73% Sepekan, Harga Batu Bara Terendah Dalam 6 Bulan

Polusi Turun Drastis dalam 4 Tahun, Bagaimana China Melakukannya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun