Kabut asap itu sebagian berasal dari hasil pembakaran batu bara yang masif di pabrik dan di rumah. Oleh karena terus berlangsung selama bertahun-tahun, kadar polusi menjadi bertumpuk, dan kualitas udara di sana memburuk. Hal itu pun kemudian menimbulkan "bibit-bibit" penyakit saluran pernapasan bagi warga setempat.
Hal itu jelas bukan kabar baik bagi produsen batu bara nasional. Pasalnya, "napas" perusahaan mereka sangat bergantung pada harga pasar.Â
Kalau harga batu bara tidak kunjung naik, bisa-bisa ada banyak perusahaan batu bara yang gulung tikar, dan jika hal itu sampai terjadi, bagaimana nasib para pekerja yang menggantungkan hidup dari sana?
Menukiknya harga batu bara jelas berimbas pada harga saham beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia. Sebut saja saham ADRO. Saham yang dinaungi PT Adaro Energy Tbk tersebut melorot dari harga 1.745 pada tanggal 2 Juli 2018 hingga harga 1.275 pada 26 November 2018. Valuasi perusahaan pun menjadi sangat "murah" dengan Price Earning Ratio (PER) 7 kali.
Hal itu tentu jadi sebuah "anomali". Sebab, PT Adaro dikenal pemain "kelas kakap" di industri batu bara. Menurut data dari CNBC Indonesia, sepanjang tahun 2018, perusahaan itu mampu memproduksi 50 juta metrik ton batu bara. Jumlah yang tentunya sangat besar, tetapi, sayangnya, justru berbanding terbalik dengan harganya saat ini.
Di tengah krisis harga seperti sekarang, manajemennya mampu menjaga arus kas. Biarpun penjualan agak seret, masih ada dana yang mengalir masuk ke "kantong" perusahaan.
Selain itu, utang kedua perusahaan itu juga terjaga baik. Tidak seperti perusahaan Bumi Resources, yang menanggung utang banyak, padahal bisnisnya sedang lesu, mereka memiliki rasio utang yang rendah (DER), yakni di bawah 1 kali.
Pengetatan "ikat pinggang" juga terus dilakukan. Efisiensi terjadi di hampir semua lini, dan manajemen mencoba mengatur supaya operasional dapat tetap berjalan dengan lancar meskipun "badai" harga batu bara seolah tak ada habis-habisnya menghajar ekonomi perusahaan.
Walaupun manajemen sudah berupaya maksimal menyelamatkan perusahaan, ternyata itu tak berpengaruh banyak pada tingkat kepercayaan investor.Â