Sebagaimana diketahui, pengobatan lewat "teknik" kerokan sebetulnya telah berlangsung lama. Seni pengobatan tradisional itu awalnya sudah dikenal dan diterapkan di Negeri Tiongkok. Jadi, orang-orang Tionghoa dulunya ternyata suka dikerok juga di sana. Hahahahahahahahaha.
Hal itu diamini juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo (UNS), Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo,dr, PAK, MM, M.Kes. sewaktu saya datang menghadiri pemaparannya dalam acara Nangkring Kompasiana bersama Balsem Lang, di Hotel Shantika Premiere, Palmerah, pada tanggal 25 Oktober lalu.
Menurut Prof. Didik, sesudah "melanglang" buana, seni pengobatan itu kemudian menjadi terkenal di Jawa dan terus "melegenda" dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Berdasarkan hasil penelitian ilmiahnya, pola tersebut ternyata menciptakan efek relaksasi dan memperlancar aliran energi di tubuh. Makanya, setelah selesai dikerok, badan yang sebelumnya terasa berat seperti ditindih beban bisa lebih "ringan" seperti sediakala.
Namun demikian, Prof. Didik mewanti-wanti bahwa bagian depan tubuh "tidak boleh" dikerok. Pasalnya, di situ, terdapat pembuluh darah dan syaraf yang penting. Makanya, kalau dikerok, fungsi syaraf bisa terganggu.
Informasi itu jelas penting terutama bagi orang-orang yang "hobi" melakukan kerokan di dada dan leher. Makanya, mulai sekarang, "hobi" demikian sudah seharusnya ditinggalkan demi kesehatan dan keselamatan. Jangan sampai timbul penyakit baru manakala kita terbiasa mengerok tubuh bagian depan.
Selain itu, kita juga mesti mempertimbangkan pilihan balsem. Sewaktu dikerok, papa saya mengoleskan Balsem Lang tipis-tipis di punggung. Sebab, menurut papa saya, dengan sedikit olesan saja, panas yang ditimbulkan sudah cukup menghangatkan kulit.
Apalagi, ada aromaterapi yang tercium manakala papa saya mengoleskannya. Makanya, efek yang ditimbulkan terasa menentramkan dan menyegarkan hati, tidak seperti balsem lain yang aromanya "eksentrik" khas orangtua (baca: nenek-nenek). Hahahahahahahahaha.
Salam.