Bagi saya, kerokan ialah teknik pengobatan yang cukup "menyiksa". Betapa tidak, sewaktu melakukannya, kulit terasa sakit akibat "digosok" dengan permukaan koin.
Makanya, sebelum dikerok, saya biasanya akan menyiapkan kain. Fungsinya? Ya, buat menyumpal mulut saya agar saya tidak menjerit-jerit manakala punggung ini didera gosokan koin. Hahahahahahahahaha.
Namun demikian, biarpun dunia medis modern masih memandangnya "sebelah mata", kerokan terbukti ampuh mengatasi masukangin. Saya merasakan keampuhannya sendiri.
Sudah seminggu belakangan, perut saya sering mual. Awalnya, saya pikir maag. Maklum saja, di kantor, saya sedang punya banyak tugas, yang "mepet" deadline. Akibatnya, asam lambung bisa saja naik, terbawa stres.
Saya pun memutuskan minum obat maag. Namun, ternyata penyakit itu belum juga "lengser" dari tubuh saya. Segera saja saya menduga terkena masukangin. Pasalnya, tubuh ini terasa berat manakala saya baru bangun tidur, kemudian keringat juga sering muncul walaupun saya terpapar AC di KRL dan kantor, dan perasaan mual itu tadi.
Dari ketiga gejala itu, akhirnya saya menyimpulkan terkena masukangin. Selanjutnya saya pun minum obat yang berkhasiat meredakan penyakit tersebut. Saya sengaja memilih minum obat untuk menghindari kerokan. Hahahahahahahahahaha.
Namun demikian, biarpun telah minum obat, kondisi badan saya masih tetap sama. Tubuh masih terasa berat. Lesu. Mudah ngantuk. Apalagi saat kerja. Makanya, sejak beberapa hari sebelumnya, saya bisa tertidur di kantor. Sungguh itu menghambat ritme kerja saya!
Akhirnya, pada saat itulah, saya memutuskan "jalan terakhir" untuk memperoleh kesembuhan. Saya "ikhlas" dikerok. Untungnya, papa saya, yang mengerok tubuh saya, cukup "sensitif". Sapuan kerokannya terasa halus sehingga saya hanya merasa sedikit sakit di punggung.
Hasilnya? Punggung saya memperlihatkan warna "merah matang", tanda masukangin telah "bersemayam" cukup lama di tubuh saya.Â
Sejarah Kerokan