Tajam.
Bengis.
Yura yang menyaksikan amukan itu hanya bisa duduk tertunduk. Sekilas terdengar suara isaknya.
Nasi yang tertuang di piringnya menjadi dingin dan hambar. Semua itu telah "meluluh-lantakkan" nafsu makannya. Ia pun pergi tanpa sepatah kata pun, langsung menuju kamarnya.
Maafkan aku, Keiko. Sepertinya istriku enggan berbagi kamar bersamamu. Namun, aku akan mencarikanmu tempat tinggal yang lain.
Di situ kita akan lebih sering bertemu, berdiskusi, dan bersama menghabiskan malam.
Walaupun harus mendapat "semprotan" dari istriku, sejujurnya, aku merasa lebih lega telah berbicara jujur. Sejak saat itu, insomnia yang terus "membayangi" malamku jauh berkurang.
Keiko, sayang, orang bilang kalau hidup itu "baru" dimulai di atas usia empat puluh dan aku merasa ungkapan itu ada benarnya.
Entah mengapa, sejak bertemu denganmu, gairah hidupku yang tadinya redup kembali menyala.
Barangkali itulah yang jamak disebut sebagai "cinta". Sebuah perasaan yang ingin terus bersama selamanya.
Makanya, kini, ke mana pun aku pergi, aku terus bersamamu, Keiko. Saat di losmen tempat kau menginap, aku menemanimu. Saat aku bekerja mengantar penumpang, kau juga setia menemaniku.