Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kalau "Masih" Hidup, Akankah Kartini Menulis di Kompasiana?

21 April 2017   08:06 Diperbarui: 21 April 2017   18:00 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu membongkar gudang, tanpa sengaja, tangan saya menyentuh Majalah Tempo edisi April 2013 yang memuat profil Kartini yang berulang tahun tepat pada hari ini. Kebetulan? Mungkin saja. Namun, yang jelas, isi majalah itu mengingatkan saya pada sosok “ibu legendaris” yang selalu dikenang lewat nyanyian dan pakaian adat.

Saya tidak begitu ingat alasan saya membeli majalah itu. Apakah pada saat itu, saya merasa “kepo” dengan kehidupan Kartini? Bisa jadi. Namun, tak hanya saya, para pembaca yang budiman mungkin juga merasa penasaran dengan sosok Kartini yang sesungguhnya.

Baiklah. Tanpa bermaksud “mengajarkan” sejarah, pada tulisan ini, izinkanlah saya berbagi sekelumit kisah Kartini yang saya sarikan dari majalah tersebut. Barangkali kita semua bisa memetik sebuah “hikmah” atas kehidupan Kartini.

Sekelumit Kisah Hidup Kartini

Sebagaimana diketahui, Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 dari pasangan RM AA Sosroningrat dan MA Ngasirah. Ayahnya Bupati Jepara, dan karena mewarisi “darah ningrat”, Kartini pun menyandang gelar Raden Ajeng.

Seperti anak bangsawan lainnya, Kartini mendapat pendidikan di lembaga pendidikan formal. Ia bersekolah di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School) dari tahun 1885 sampai 1892. Di situlah ia mempelajari pelbagai hal dan keterampilan, termasuk menulis, yang pada kemudian hari dijadikannya sebagai “senjata” untuk mendongkrak emansipasi perempuan.

Di sekolah itu pula Kartini mendapat julukan kuda kore (kuda liar). Julukan itu muncul lantaran sebagai anak bupati, ia menolak berjalan pelan layaknya “siput”. Selain itu, ia juga tak sungkan tertawa hingga giginya terlihat. Sebuah sikap yang pada saat itu disebut “kurang sopan” di kalangan para bangsawan.

Namun demikian, dari situ, kita jadi mengenal bahwa sejak masih sekolah, “semangat pemberontakan” terhadap adat telah mulai muncul dalam diri Kartini. Pemberontakan itu semakin kontras terlihat sewaktu ia menulis artikel tentang perkawinan pada Suku Koja berjudul Het Huwelijk bij de Kodja’s. Artikel itu kemudian diterbitkan di jurnal Bijdrade TLV pada tahun 1898.

Ketika Kartini Aktif Menulis

Mengapa Kartini memilih menulis sebagai sarana untuk “mengobarkan” pemberontakannya? Barangkali, menulis adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukannya pada waktu itu. Tidak ada cara lain yang lebih “halus” sekaligus “lugas” dalam menyuarakan kegelisahannya terhadap emansipasi wanita, kecuali lewat tulisan.

Apa yang dilakukan kartini mengingatkan saya pada Gao Xin Jiang. Gao Xin Jiang adalah sastrawan asal Tiongkok yang menyabet Hadiah Nobel Sastra pada tahun 2000. Hadiah itu diberikan, salah satunya, atas apresiasi Panitia Nobel terhadap novel monumentalnya, Gunung Jiwa.

Tidak seperti novel-novel lainnya, Gunung Jiwa lebih mirip sebuah catatan harian. Novel itu pun ditulis selama tujuh tahun, dan Gao menyebut bahwa isi novel itu terinspirasi dari perjalanan hidupnya setelah “diasingkan” dari tanah airnya sendiri.

Lantaran terlibat kasus politik, Gao dilarang menerbitkan karya-karyanya. Namun demikian, ia tetap menuliskan semua isi pikiran dan pengalamannya di buku catatan. Ia melakukannya supaya bisa mengatasi “kesepian” saat karya-karyanya tidak bisa dinikmati masyarakat luas.

Catatan-catatan itulah yang kemudian menjadi fondasi novel Gunung Jiwa. Makanya, dalam sebuah kesempatan, ia mengungkapkan tak pernah berniat menerbitkannya, dan sepenuhnya novel itu ditulis untuk dirinya sendiri.

Seperti halnya Gao, barangkali kartini pun merasakan “kesepian” yang sama manakala aspirasinya sulit didengar orang-orang di sekitarnya. Jadi, alih-alih terus dibatasi oleh lingkungan, ia kemudian membuat tulisan berupa surat-surat yang menyuarakan kegelisahannya. Dari situ kemudian pemikiran-pemikirannya bebas “menjelajah” dunia tanpa takut dikekang oleh adat yang kaku.

Berteman dengan Para Aktivis

Makanya, biarpun tak pernah meninggalkan Jepara, Kartini mempunyai sejumlah Teman Eropa, lantaran ia sering berbalas surat dengan mereka. Sebut saja Estelle Zeehandelaar. Estelle adalah seorang pegawai Departemen Kantor Pos dan Telegram di Amsterdam. Selain itu, ia juga dikenal sebagai kontributor di beberapa jurnal dan aktivis feminisme yang gencar menyuarakan pikirannya di media cetak.

Kartini berkenalan dengannya pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandsce Lelie, majalah wanita dalam sosial dan sastra yang dilanggan oleh Kartini. Lantaran punya kesamaan sikap soal emansipasi, mereka pun langsung “klop” sebagai sahabat. Biarpun belum pernah berjumpa secara langsung, mereka sering berkomunikasi lewat surat.

Lewat surat pulalah Kartini kemudian menjalin persahabatan dengan Tuan dan Nyonya Abendanon. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela-Mandri, bertemu dengan Kartini pada tahun 1900. Abendanon adalah seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri.

“Meneer” Belanda berjanggut lebat itu juga dikenal sebagai “penganjur haluan etis”, yang berusaha mengangkat harkat para penduduk di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda terutama dalam hal pendidikan. Makanya, Kartini kemudian menemukan teman yang “senapas” dengannya itu sehingga mereka aktif berbalas surat, sampai Kartini wafat pada tahun 1904.

Berkat jasa Abendanon, surat-surat Kartini yang mendokumentasikan semua pemikiran dan perasaannya itu akhirnya dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Seorang Pejuang Emansipasi

Dari uraian di atas, kita jadi lebih mengetahui bahwa Kartini sebetulnya adalah pejuang emansipasi yang gigih. Biarpun sangat dibatasi oleh adat, ia terus memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan di masyarakat.

Perjuangan kartini tak melulu ditunjukkan lewat tulisan, tetapi juga lewat aksi nyata. Sebut saja upayanya sewaktu ia dan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, mendirikan sekolah gadis Jawa pertama di Hindia Belanda.

Sayangnya, “sepak terjang” Kartini harus terhenti setelah ia menderita sakit parah pascamelahirkan anaknya, RM Soesalit, pada tanggal 13 September 1904. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini mengembuskan napas terakhirnya.

Kartini memang meninggal dunia dalam usia yang relatif muda, 26 tahun. Namun, atas jasanya, pada tanggal 2 Mei 1964, ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Walaupun telah lama wafat, kalau boleh berandai-andai masih hidup, akankah Kartini tetap aktif menulis saat ini? Kalau dulu terbiasa menulis surat, apakah ia kini juga bakal tertarik menulis di blog, seperti di Kompasiana? Bisa saja.

Namun, mungkin ia tak akan melulu menulis soal emansipasi wanita, sebab sejak beliau wafat, Wanita Indonesia telah mendapat tempat yang sederajat dalam pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Terima kasih Ibu Kartini, ibu kita semua!

Selamat Hari Kartini untuk Semua Wanita Indonesia

Salam.

Adica Wirawan, Founder Gerairasa.com


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun