Tidak seperti novel-novel lainnya, Gunung Jiwa lebih mirip sebuah catatan harian. Novel itu pun ditulis selama tujuh tahun, dan Gao menyebut bahwa isi novel itu terinspirasi dari perjalanan hidupnya setelah “diasingkan” dari tanah airnya sendiri.
Lantaran terlibat kasus politik, Gao dilarang menerbitkan karya-karyanya. Namun demikian, ia tetap menuliskan semua isi pikiran dan pengalamannya di buku catatan. Ia melakukannya supaya bisa mengatasi “kesepian” saat karya-karyanya tidak bisa dinikmati masyarakat luas.
Catatan-catatan itulah yang kemudian menjadi fondasi novel Gunung Jiwa. Makanya, dalam sebuah kesempatan, ia mengungkapkan tak pernah berniat menerbitkannya, dan sepenuhnya novel itu ditulis untuk dirinya sendiri.
Seperti halnya Gao, barangkali kartini pun merasakan “kesepian” yang sama manakala aspirasinya sulit didengar orang-orang di sekitarnya. Jadi, alih-alih terus dibatasi oleh lingkungan, ia kemudian membuat tulisan berupa surat-surat yang menyuarakan kegelisahannya. Dari situ kemudian pemikiran-pemikirannya bebas “menjelajah” dunia tanpa takut dikekang oleh adat yang kaku.
Berteman dengan Para Aktivis
Makanya, biarpun tak pernah meninggalkan Jepara, Kartini mempunyai sejumlah Teman Eropa, lantaran ia sering berbalas surat dengan mereka. Sebut saja Estelle Zeehandelaar. Estelle adalah seorang pegawai Departemen Kantor Pos dan Telegram di Amsterdam. Selain itu, ia juga dikenal sebagai kontributor di beberapa jurnal dan aktivis feminisme yang gencar menyuarakan pikirannya di media cetak.
Kartini berkenalan dengannya pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandsce Lelie, majalah wanita dalam sosial dan sastra yang dilanggan oleh Kartini. Lantaran punya kesamaan sikap soal emansipasi, mereka pun langsung “klop” sebagai sahabat. Biarpun belum pernah berjumpa secara langsung, mereka sering berkomunikasi lewat surat.
Lewat surat pulalah Kartini kemudian menjalin persahabatan dengan Tuan dan Nyonya Abendanon. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela-Mandri, bertemu dengan Kartini pada tahun 1900. Abendanon adalah seorang Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri.
“Meneer” Belanda berjanggut lebat itu juga dikenal sebagai “penganjur haluan etis”, yang berusaha mengangkat harkat para penduduk di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda terutama dalam hal pendidikan. Makanya, Kartini kemudian menemukan teman yang “senapas” dengannya itu sehingga mereka aktif berbalas surat, sampai Kartini wafat pada tahun 1904.
Berkat jasa Abendanon, surat-surat Kartini yang mendokumentasikan semua pemikiran dan perasaannya itu akhirnya dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Seorang Pejuang Emansipasi