Dari uraian di atas, kita jadi lebih mengetahui bahwa Kartini sebetulnya adalah pejuang emansipasi yang gigih. Biarpun sangat dibatasi oleh adat, ia terus memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan di masyarakat.
Perjuangan kartini tak melulu ditunjukkan lewat tulisan, tetapi juga lewat aksi nyata. Sebut saja upayanya sewaktu ia dan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, mendirikan sekolah gadis Jawa pertama di Hindia Belanda.
Sayangnya, “sepak terjang” Kartini harus terhenti setelah ia menderita sakit parah pascamelahirkan anaknya, RM Soesalit, pada tanggal 13 September 1904. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini mengembuskan napas terakhirnya.
Kartini memang meninggal dunia dalam usia yang relatif muda, 26 tahun. Namun, atas jasanya, pada tanggal 2 Mei 1964, ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Walaupun telah lama wafat, kalau boleh berandai-andai masih hidup, akankah Kartini tetap aktif menulis saat ini? Kalau dulu terbiasa menulis surat, apakah ia kini juga bakal tertarik menulis di blog, seperti di Kompasiana? Bisa saja.
Namun, mungkin ia tak akan melulu menulis soal emansipasi wanita, sebab sejak beliau wafat, Wanita Indonesia telah mendapat tempat yang sederajat dalam pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Terima kasih Ibu Kartini, ibu kita semua!
Selamat Hari Kartini untuk Semua Wanita Indonesia
Salam.
Adica Wirawan, Founder Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H