Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ada Apa dengan Sungai Tengari?

23 Agustus 2016   07:28 Diperbarui: 23 Agustus 2016   23:31 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permintaan Oma bahwa ia ingin abu jenazahnya ditabur di sungai terdengar janggal bagiku. Sepanjang pengetahuanku, abu jenazah umumnya dipendam di dalam tanah, atau disimpan di rumah abu, atau disebar ke laut lepas. Namun, Oma bersikukuh kalau abu jenazahnya harus dilarutkan di Sungai Tengari dan kami, keluarganya, mesti menurut lantaran itu adalah permintaan sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit.

Dua minggu sebelum Oma berpulang, aku mendapat telepon dari mama. Dari ujung telepon mama berkata, “Oma lagi dirawat di rumah sakit; segeralah kamu pulang.” Suara tut-tut-tut yang panjang menyudahi obrolan kami. Pada saat itu, aku seperti memperoleh sebuah firasat kalau umur Oma sudah dekat. Maka, esoknya aku mengambil cuti kerja, memesan tiket pesawat, dan kembali ke kampung halaman.

Oma sudah berbaring di ruang ICU sewaktu aku tiba di rumah sakit. Ia memakai piyama putih yang terlalu longgar sehingga timbul kesan bahwa tubuhnya sangat kurus. Rambutnya yang ikal putih tertutupi oleh topi hitam. Oma tengah berjuang menghadapi masa kritis lantaran untuk bernapas saja ia membutuhkan bantuan mesin. Layar monitor yang terdapat di sebelah ranjangnya menunjukkan angka-angka yang naik-turun seperti bursa saham.

Sekitar delapan jam kemudian kondisi Oma membaik. Ia tampaknya berhasil melewati masa kritis. Esoknya ia sudah dikeluarkan dari ruang ICU dan ditempatkan di sebuah kamar yang terletak di lantai empat. Ia sudah bisa membuka matanya. Walaupun masih terdengar lemah, ia sudah mampu berbicara. Bahkan, ia mengenali kami semua dengan baik seolah-olah kesadarannya sudah pulih seperti sedia kala.

Pada waktu itulah Oma menyampaikan “wasiat”-nya. “Saat aku meninggal,” katanya dengan suara pelan. “Tolong sebar abuku ke Sungai Tengari.” Kami semua terdiam menyimak kata-kata tersebut seolah-olah lidah kami mendadak kaku. Ada sebuah jeda yang panjang dan kami merasa kurang nyaman atas suasana itu. Bibiku lantas menjabat tangannya. “Oma jangan bicara begitu,” katanya. “Oma pasti sembuh.” Kata-kata itu menjadi semacam penghiburan yang menghangatkan hati kami.

Namun demikian, kata-kata itu tidak dapat mengubah kenyataan. Kehidupan tidaklah pasti, tetapi kematian pastilah terjadi. Benar saja seminggu kemudian kondisi Oma kembali drop. Dengan semua cara dokter berusaha menyelamatkan nyawanya. Namun, pada akhirnya, kamu sekeluarga harus mengikhlaskan kepergiannya. Selamat jalan Oma!

Walaupun Oma sudah tiada, masih tersisa sebuah teka-teki yang belum terjawab: mengapa ia memilih Sungai Tengari? Apa istimewanya sungai tersebut sehingga ia ngotot supaya abu janazahnya dilarutkan di sungai tersebut?

Tanpa sengaja aku menemukan sebuah “harta karun” Oma yang tersimpan di sebuah kaleng biskuit sewaktu mengunjungi kamarnya yang sangat sederhana. Harta karun itu adalah beberapa lembar surat dan tulisan tangan dan foto dirinya yang sudah berwarna kuning kecokelatan seolah terkena tumpahan kopi. Awalnya aku berniat mencari fotonya untuk keperluan upacara perkabungan. Namun, rahasia Oma jauh lebih “menggoda” sehingga sejenak aku melupakan niat tersebut.

Aku duduk memeriksa dokumen tersebut. Beberapa surat sudah sangat lama sehingga huruf-huruf yang tertulis di atasnya tampak bias sukar dibaca. Namun, aku menemukan sepucuk surat yang masih jelas tulisannya. Surat tersebut ditulis tahun 1957. Aku tidak bisa memahami semua isinya lantaran surat itu ditulis dengan bahasa Melayu yang dicampur bahasa Belanda, tetapi secara garis besar surat itu berisi ungkapan perasaan kangen dari seorang lelaki bernama Aswan.

Sumber Gambar: www.answers.com
Sumber Gambar: www.answers.com
Dari pola tulisannya yang tertata dengan baik, aku sudah bisa menebak kalau Aswan adalah orang yang terdidik. Setiap kata ditulis dengan cermat dan itu menunjukkan bahwa ia termasuk orang yang logis, terstruktur, dan rapi. Namun, bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah siapakah Aswan? Apakah ia adalah kekasih Oma? Mengapa Oma masih menyimpan surat-suratnya sekian lama seolah-olah itu adalah “benda keramat” yang mampu membetot semua kenangan manis pada masa lalu?

Aku meneruskan penelusuranku dan menemukan sebuah foto Oma sewaktu masih muda. Sewaktu masih remaja, Oma ternyata perempuan yang rupawan. Rambutnya yang ikal dan hitam menutupi bahunya. Sementara itu, senyumnya terlihat manis sehingga lelaki manapun akan langsung naksir kalau mendapat senyum tersebut. Aku membayangkan bahwa jangan-jangan Aswan naksir Oma lantaran senyumnya yang menawan!

Setelah semua prosesi kremasi selesai dilaksanakan, kami membawa guci yang berisi abu jenazah Oma ke Sungai Tengari. Kami harus bermobil sekitar empat jam untuk mencapai sungai tersebut. Sungai Tengari adalah sungai yang mengalir sepanjang Desa Suaka Hijau. Sungai tersebut mengalir dangkal di sela-sela batu-batu yang berbentuk bulat. Airnya masih jernih dan sejuk lantaran berasal dari mataair yang murni.

Konon, menurut penuturan orang-orang, air sungai tersebut sempat berwarna merah pada tahun 1950-an. Pada saat itu, sungai itu menjadi medan pertempuran antara penduduk lokal dan para penjajah. Banyak orang yang tewas dalam pertempuran itu. Darah yang mengucur dari tubuh mereka larut dengan air sungai. Darah itu memerahkan sungai.

Sewaktu menunggu pembacaan doa sebelum abu jenazah ditaburkan ke sungai, aku mengamati tepian sungai. Aku menemukan seikat bunga merah yang diletakkan di atas batu. Bunga itu terlihat masih segar seolah baru ditaruh dua hari yang lalu. Meskipun demikian, kelopak-kelopaknya sudah mulai layu dan rontok tersapu embusan angin. Sesaat aku merenungkan bahwa kehidupan manusia pun serupa bunga, yang suatu saat akan menjadi layu.

Usai membacakan doa perpisahan, bibiku menuangkan abu jenazah Oma ke sungai. Sedikit demi sedikit abu tersebut larut bercampur bersama aliran sungai yang sangat tenang. Akhirnya abu tersebut menyatu sepenuhnya bersama alam raya.

Sekitar setahun setelah Oma wafat, aku menjalin hubungan “spesial” dengan seorang pria bernama Mike. Aku berkenalan dengannya lewat situs perkencanan. Untuk memanfaatkan situs tersebut, terlebih dulu aku harus mengisi 100 butir kuesioner. Kuesioner itu menjadi sebuah instrumen, yang menggali informasi tentang diriku, seperti pola pikir, minat, dan emosi. Setelah semua data terkumpul, sistem melakukan pencocokan profil, dan ternyata profilku memiliki tingkat kecocokan yang tinggi dengan profil Mike.

Setelah mengobrol lewat media sosial, kami memutuskan bertemu secara langsung di sebuah kafe. Mike adalah seorang pria bertubuh agak tambun, yang mempunyai pipi yang menggemaskan. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak, yang menimbulkan kesan sederhana. “Halo, apa kabar?” Suaranya terdengar ramah. Ia mengulurkan tangan dan aku menjabat tangannya yang terasa empuk.

Sumber Gambar: www.cafemiro.co.uk
Sumber Gambar: www.cafemiro.co.uk
Walaupun baru bertatap muka pertama kali, uniknya kami langsung merasa “terhubung”. Suasana betul-betul cair seolah kami sudah mengenal sejak dulu. Kami mengobrol sekitar tiga jam. Sebuah pertemuan pertama yang berkesan! Maka, kami memutuskan mengatur pertemuan-pertemuan berikutnya. Sejak saat itu, hubungan kami terus terjalin baik hingga Mike memintaku menjadi pacarnya.

Suatu ketika aku menelepon Mike.

“Say, Sabtu ini kita nonton yuk?” Kataku. “Ada film yang ingin betul aku tonton.”

“SoriSay,” kata Mike dengan suara yang sopan. “Sabtu ini aku harus pergi ziarah.”

Ziarah ke makam siapa?” Tanyaku penasaran.

“Opaku,” kata Mike. “Namun, aku gak pergi ziarah ke kuburan, tapi ke sungai.”

“Sungai?”

“Ya,” tukas Mike. “Soalnya abu jenazah opaku disebar di sungai.”

Aku terdiam sejenak. Aku mulai merasa curiga lantaran Mike menyebut bahwa sungai yang akan diziarahi oleh Mike adalah Sungai Tengari! “Jangan-jangan…” aku membatin.

“Say, kalau boleh tahu siapa nama Opamu?”

“Aswan.”

Perjumpaan antara aku dan Mike mungkin dapat disebut sebuah kebetulan pada awalnya. Namun, sesudah mengetahui bahwa leluhur kami “pernah” mempunyai sebuah hubungan pada masa lalu, kami mulai merasa pertemuan kami seolah telah ditakdirkan!

Aku memperlihatkan surat-surat yang disimpan Oma kepada Mike. Uniknya Mike pun menyimpan buku catatan harian yang ditinggalkan Opanya. Maka, sewaktu kami mencocokkan pola tulisan tangan pada surat dan buku catatan tersebut, kami menatap satu sama lain seolah baru tersadar oleh sebuah keajaiban.

“Itu jelas-jelas tulisan Opa,” kata Mike, merujuk pada tulisan tangan di surat. “Bagaimana Omamu bisa memilikinya?”

Aku menceritakan semua yang aku ketahui.

“Sungguh aneh,” Mike menarik napas yang dalam. “Sewaktu masih hidup, seperti Omamu, Opaku pun berpesan supaya abu jenazahnya ditabur di Sungai Tengari!”

Atas persetujuan Mike dan keluarganya, aku minta izin ikut berziarah, supaya aku bisa menguak lebih jauh teka-teki kehidupan ini. Setiap akan berziarah, keluarga Mike selalu menyiapkan seikat bunga merah. Segera saja aku menemukan kecocokan lain lantaran bunga itu mirip sekali dengan bunga yang aku temukan di tepi sungai sewaktu akan menabur abu jenazah Oma setahun yang lalu!

Di bibir sungai yang berbatu, kami berdoa untuk Oma dan Opa. Kami memejamkan mata dan menguncarkan doa dalam batin. Suara aliran sungai terdengar dengan jelas, seolah ikut mengaliri batin kami. Setelah selesai, kami meletakkan bunga merah di tepi sungai sebagai sebuah “hadiah” pertemuan kami dengan leluhur.

Aku berpikir bahwa seandainya Omaku dan Opa Mike memutuskan membina keluarga, tentu sekarang aku dan Mike menjadi sepupu. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Aku tak mengetahui persis alasan hubungan mereka bisa kandas.

Biarpun demikian, dari situ aku belajar bahwa cinta ternyata tak harus diikat oleh pernikahan yang sakral. Cinta akan terus ada walaupun fisik kita hancur-lebur oleh kematian. Cinta seperti itu akan terus hadir seperti sungai yang menyatukan dua unsur manusia ke dalam aliran semesta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun