Namun, yang menjadi persoalan adalah kalau penyesalan itu berlangsung lama. Penyesalan itu tak hanya akan meruntuhkan semangat hidup kita, tetapi juga dapat merusak hubungan kita dengan orang lain. Jadi, sudah seharusnya kita belajar melepas penyesalan tersebut demi kebahagiaan hidup kita.
Kita dapat melepas rasa sesal itu dengan mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan itu memang tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi dapat meringankan beban emosi yang selama ini kita rasakan. Dalam buku Psikologi Edisi Kesembilan, Carole Wade dan Carol Tavris menceritakan bahwa mahasiswa yang mengakui pengalaman pahit yang pernah dialaminya jauh lebih sehat secara emosional.
Apa yang dilakukan oleh para mahasiswa itu sering disebut sebagai menulis ekspresif. Cara tersebut jauh lebih aman daripada kita mengakui semua pengalaman pahit yang kita alami pada orang lain sebab orang itu bisa saja malah menghakimi perbuatan kita. Alih-alih merasa lebih lega, beban yang kita rasakan justru bisa bertambah berat. Namun, kalau kita merasa lebih nyaman menceritakan pengalaman itu kepada orang lain, pilihlah orang terdekat yang bersedia menyimak tanpa menghakimi.
Pembaca, izinkanlah saya menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari pengarang Lucy M. Montgomery, yang bunyinya sebagai berikut. “We should regret our mistakes and learn from them, but never carry them forward into the future with us.” "Kita seharusnya menyesali kesalahan kita dan belajar darinya, tetapi jangan pernah membawanya ke masa depan bersama kita." Semoga hidup kita semua jauh lebih damai dan bahagia.
(Apabila pembaca tertarik, silakan lihat juga tulisan saya lainnya Baper Ditolak Teman)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H