Saya menyukai pesan yang disampaikan dalam tayangan video berikut ini.
Tayangan video itu menceritakan kesedihan yang dialami seekor rubah. Rubah berbulu orange tersebut tampak murung memikirkan persoalan yang sedang dihadapinya. Persoalan itu terlalu berat ditanggung sendirian.
Ibarat sebuah lubang yang menganga di dasar perut bumi, perlahan-lahan persoalan itu kemudian menenggelamkan rubah mungil itu ke dalam perasaan stres yang berlarut-larut.
Kemudian datanglah seekor beruang yang baik hati. Ia mendekati si rubah dan mendengarkan semua persoalannya. Ia pun ikut merasakan penderitaan si rubah. Bahkan, sewaktu si rubah terperosok dalam sebuah lubang pun, ia datang menemani si rubah.
“Tidak usah khawatir,” katanya. “Aku ada bersamamu.” Si rubah merasakan energi persahabatan yang tulus. Suasana hatinya pun mulai berubah. Akhirnya, ia pun memeluk si beruang, yang sudah membantunya mengatasi perasaan sedih tersebut.
Kisah tersebut menunjukkan perasaan empati. Perasaan empati ibarat sebuah cermin di dalam batin. Sewaktu kita mempunyai perasaan empati yang kuat, kita dapat melihat lewat sudut pandang orang lain. Kita dapat memahami perasaan orang lain dengan baik, seolah kita sedang becermin dengan perasaan sendiri. Oleh sebab itu, orang berempati tidak mudah menghakimi orang lain.
Sayangnya tidak semua orang mempunyai perasaan empati dalam batinnya. Para pembunuh berantai, pemerkosa, dan pelaku teror, seperti di Munich, jelas memiliki sedikit sekali empati dalam dirinya.
Mereka tidak merasa menyesal sedikit pun terhadap penderitaan yang dialami para korbannya. Mereka bahkan tidak merasa takut terhadap konsekuensi yang akan didapat atas perbuatan kejam itu. Ibarat wilayah kutub yang terselimuti salju tebal, hati nurani mereka sudah lama membeku.
Antisocial Personality Disorder
Para psikolog menyebut bahwa perilaku mereka menunjukkan antisocial personality disorder atau gangguan kepribadian antisosial. Orang-orang yang terindikasi gejala tersebut mempunyai beberapa ciri. Dalam buku Psikologi edisi 9, Carole Wade dan Carol Tavris menyebut sedikitnya tiga ciri orang yang antisosial.
Pertama, orang tersebut minim empati. Seperti sudah saya singgung, orang yang antisosial memiliki ketidakmampuan dalam merasakan penderitaan yang dialami orang lain. Sebagai contoh, Gary L. Ridgway mengaku dengan tenang bahwa ia telah membunuh 48 wanita di Amerika Serikat, dan sewaktu menjalani persidangan, ia tidak menunjukkan sedikit pun perasaan menyesal atas perbuatannya. Hal itu memperlihatkan kalau empati di dalam hatinya sudah sedemikian tergerus sehingga ia tega menghabisi banyak orang.
Kedua, orang yang antisosial cenderung bersifat impulsif. Ia mudah sekali terbakar amarah sehingga nekat melakukan tindak kekerasan, seperti menampar atau memukul. Ia pun tidak merasa takut terhadap hukum, bahkan seolah-olah menantang hukum. Oleh sebab itu, orang tersebut cenderung “rajin” keluar-masuk rumah tahanan.
Ketiga, perilaku antisosial, secara alami, sudah terlihat sejak usia anak-anak dan remaja. Sejak anak-anak, orang tersebut sudah terbiasa bersikap kasar. Ia sering memukul atau menggigit. Kemudian, sewaktu tubuh remaja, ia melakukan tindak kriminal, seperti pencurian dan pemerkosaan.
Abnormalitas pada Korteks Prefrontal
Perilaku menyimpang tersebut dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah kelainan yang terdapat pada Korteks Prefrontal. Korteks Prefrontal adalah bagian otak yang berfungsi untuk mengatur proses kognisi.
Seorang manajer mempunyai tugas mengendalikan karyawan, mempertanggungjawabkan kinerja, dan merencanakan visi untuk perusahaan. Korteks Prefrontal pun bertugas demikian. Ia bertugas mengendalikan ucapan dan tindakan kita. Ia mempertanggungjawabkan semua respon sosial. Ia pun merencanakan semua perbuatan yang akan kita ambil.
Nah, orang-orang yang antisosial mengalami kelainan pada bagian tersebut. Sewaktu otak mereka di-scan, terlihat bahwa bagian itu mempunyai aktivitas yang sangat minim. Oleh sebab itu, ucapan dan perbuatan mereka sering keluar kendali.
Kelainan itu bisa disebabkan oleh beberapa peristiwa. Kelainan itu bisa terjadi lantaran orang itu dulunya pernah terkena tumor di otaknya. Bisa pula terjadi kecelakaan mobil atau pemukulan, yang mengakibatkan Korteks Prefrontalnya terganggu.
Maka, kalau pernah terjadi benturan yang hebat di kepala, kita harus memeriksakannya segera. Jangan sampai benturan itu menyebabkan perilaku antisosial yang akan merugikan diri sendiri.
Kekerasan Seksual pada Remaja
Perilaku antisosial tak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga pada menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Kasus yang dialami Y pada bulan April lalu di Bengkulu dapat menjadi contoh.
Peristiwa tragis itu berawal ketika Y pulang sekolah. Dalam perjalanan Y dihadang oleh 14 orang remaja. Para remaja tersebut kemudian memperkosa Y. Tak hanya itu, pelaku bahkan tega membunuh Y demi menghilangkan bukti. Jenazah Y ditemukan tiga hari kemudian dalam kondisi penuh luka. (Kisah selengkapnya dapat Anda baca pada tulisan lainnya Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah)
Polisi bertindak cepat. Para pelaku kemudian berhasil ditangkap. Di hadapan penyidik, mereka mengaku melakukan perbuatan itu lantaran berada di bawah pengaruh alkohol dan video porno.
Namun, menurut hemat saya, perbuatan pelaku lebih dari sekadar itu. Perbuatan pelaku menunjukkan tiadanya perasaan empati. Sebuah indikator dari perilaku antisosial.
Mental Remaja yang Sehat
Agar peristiwa itu tidak terulang, mentalitas yang sehat, terutama di kalangan remaja, harus dibangun. Menurut hemat saya, terdapat tiga cara untuk meningkatkan kualitas mental remaja.
Pertama, edukasi seks dimulai dari keluarga. Saya sangat setuju dengan ungkapan bahwa guru pertama seorang anak adalah orangtuanya. Orangtua tak hanya bertugas merawat, tetapi juga mendidik anaknya, termasuk soal seks.
Namun, sayangnya, berdasarkan pengamatan sehari-hari, orangtua mengalami kesulitan sewaktu menjelaskan soal seks kepada anak-anaknya. Selain minimnya pengetahuan, gaya komunikasi orangtua pun cenderung ambigu.
Ketika ditanya soal seks, misalnya, orangtua cenderung mengabaikan atau bahkan mengalihkan pembicaraan. “Jangan tanya begitu; kamu belum cukup umur.” Demikian alasan yang kerap disampaikan orangtua. Akibatnya, anak justru bertanya-tanya, atau bahkan bisa salah kaprah.
Sebagai alternatif, kita bisa mengajak anak mengunjungi Museum Tubuh. Di sana anak akan mengenal perbedaan gender lengkap dengan penjelasan ilmiahnya. Dengan mengetahui perbedaan gender, anak tak hanya bisa membatasi wilayah pribadinya, tetapi juga mampu merawat organ reproduksinya dengan baik. (Silakan baca artikel saya yang berjudul Mengenalkan Perbedaan Gender di Museum Tubuh)
Ketiga, orangtua harus mengawasi pergaulan teman sebaya. Ketika memasuki usia remaja, seorang anak cenderung meniru sikap teman-teman di sekitarnya. Carole Wade dan Carol Tavris, dalam buku Psikologi edisi 9, menjelaskan bahwa teman sebaya berpengaruh kuat terhadap perilaku seorang remaja.
Oleh karena itu, kalau mempunyai teman-teman yang berperilaku santun, seorang remaja pun akan berperilaku santun. Pun sebaliknya, kalau sering berkumpul dengan teman-teman yang suka berkata kasar, anak pun akan ikut-ikutan berkata kasar.
Media sosial, seperti facebook, twitter, dan whatsapp, dapat membantu orangtua dalam memonitor pergaulan anak-anaknya. Jadi, dengan menjalin pertemanan di media sosial, orangtua dapat mengetahui siapa-siapa saja temannya beserta latar belakangnya.
Semua itu adalah langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi perilaku antisosial. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, semoga remaja di Indonesia mempunyai mentalitas yang positif sehingga dapat memberi sumbangsih untuk diri sendiri, masyarakat, dan negara.
(Silakan baca pula artikel terkait Takut Menikah Muda?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H