Peristiwa tragis itu berawal ketika Y pulang sekolah. Dalam perjalanan Y dihadang oleh 14 orang remaja. Para remaja tersebut kemudian memperkosa Y. Tak hanya itu, pelaku bahkan tega membunuh Y demi menghilangkan bukti. Jenazah Y ditemukan tiga hari kemudian dalam kondisi penuh luka. (Kisah selengkapnya dapat Anda baca pada tulisan lainnya Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah)
Polisi bertindak cepat. Para pelaku kemudian berhasil ditangkap. Di hadapan penyidik, mereka mengaku melakukan perbuatan itu lantaran berada di bawah pengaruh alkohol dan video porno.
Namun, menurut hemat saya, perbuatan pelaku lebih dari sekadar itu. Perbuatan pelaku menunjukkan tiadanya perasaan empati. Sebuah indikator dari perilaku antisosial.
Mental Remaja yang Sehat
Agar peristiwa itu tidak terulang, mentalitas yang sehat, terutama di kalangan remaja, harus dibangun. Menurut hemat saya, terdapat tiga cara untuk meningkatkan kualitas mental remaja.
Pertama, edukasi seks dimulai dari keluarga. Saya sangat setuju dengan ungkapan bahwa guru pertama seorang anak adalah orangtuanya. Orangtua tak hanya bertugas merawat, tetapi juga mendidik anaknya, termasuk soal seks.
Namun, sayangnya, berdasarkan pengamatan sehari-hari, orangtua mengalami kesulitan sewaktu menjelaskan soal seks kepada anak-anaknya. Selain minimnya pengetahuan, gaya komunikasi orangtua pun cenderung ambigu.
Ketika ditanya soal seks, misalnya, orangtua cenderung mengabaikan atau bahkan mengalihkan pembicaraan. “Jangan tanya begitu; kamu belum cukup umur.” Demikian alasan yang kerap disampaikan orangtua. Akibatnya, anak justru bertanya-tanya, atau bahkan bisa salah kaprah.
Sebagai alternatif, kita bisa mengajak anak mengunjungi Museum Tubuh. Di sana anak akan mengenal perbedaan gender lengkap dengan penjelasan ilmiahnya. Dengan mengetahui perbedaan gender, anak tak hanya bisa membatasi wilayah pribadinya, tetapi juga mampu merawat organ reproduksinya dengan baik. (Silakan baca artikel saya yang berjudul Mengenalkan Perbedaan Gender di Museum Tubuh)