Aku pun memulai hariku yang baru sebagai manusia yang merdeka. Namun, semua itu ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Aku mengajukan lamaran pekerjaan, tetapi ternyata semuanya menolakku. Teman-teman yang dulu yang sangat akrab denganku kini pun menjauhiku. Setiap aku lewat di depan rumah tetangga, para tetangga selalu menatapku dengan mata yang penuh curiga. Ibu-ibu sering menggunjingkan kehadiranku. Mereka menjauhkan anak-anaknya dariku. Padahal, aku tidak mempunyai niat jahat sedikit pun. Akhirnya beginilah aku: mantan narapidana, penganggur, dan terisolasi dari pergaulan.
Aku memahami situasi abangku. Tentu sangat berat kalau kita harus memilih satu di antara dua orang yang kita sayang. Jadi, aku menemui abangku dan berbicara serius dengannya.
“Aku akan pergi,” kataku padanya dan ia tampak kaget.
“Aku bisa menyelesaikan masalah ini,” katanya. “Aku tidak sanggup melihat ibu menderita lagi. Tahukah kau bahwa ibu terus bersedih sewaktu mengetahui kalau kau ditahan dulu? Tinggallah di sini. Jangan biarkan ibu bersedih seperti dulu. Aku akan mencari jalan keluar.”
Mataku mulai berair seperti butiran embun yang hampir menitik di sela daun. “Namun, bukan hanya istrimu, tetangga kita pun tidak lagi mengharapkan kehadiranku,” kataku gemetar dalam kesedihan. “Bagi mereka, kehadiranku adalah sebuah aib.”
Abangku tiba-tiba saja menjabat tanganku. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” katanya seraya bangkit meninggalkanku.
Namun, aku tidak bisa menuruti nasihat abangku. Aku menulis surat perpisahan untuk keluargaku. Lalu, pada malam harinya aku pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan siapapun ketika kampung sedang tenggalam dalam tidur dan sunyi.
Dengan langkah berat aku pergi dari rumah.
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC.