[Cerita sebelumnya: Rumah untuk J (1)]
Sebut saja aku J. Aku tinggal di blok C sel nomor 11. Di dalam sel tersebut aku tinggal bersama tiga orang. Mereka adalah B, K, dan P. Walaupun kami mempunyai latar kehidupan yang berbeda, kami mempunyai sebuah kesamaan; kami pernah menjadi kurir narkoba.
Kasus kami pun hampir serupa. B adalah seorang TKI di sebuah negeri yang sangat jauh. Ia bekerja di tempat tersebut selama hampir tiga tahun, tetapi pekerjaannya tidak memberi hasil yang memuaskan. Pada suatu hari, ia ditawari pekerjaan menjadi kurir, dan akan diupah besar kalau berhasil mengirim paket tersebut ke lokasi yang dituju.
Kasus B hampir sama sepertiku, hanya saja ia melakukan hal yang lebih nekad; ia menyembunyikan narkoba di dalam perutnya! Kau tentunya bisa membayangkan betapa sakitnya saat perutmu disayat oleh pisau bedah, lalu sebungkus kecil mariyuana disimpan di dalam perutmu, lalu perutmu kembali dijahit, dan itulah yang dialami oleh B.
Namun, tetap saja petugas berhasil mengetahui aksinya, meringkusnya, lalu mengintrogasinya. Akibat perbuatannya, B divonis 25 tahun penjara karena ia dikenakan pasal berlapis. Ia terlibat sindikat perdagangan narkoba internasioanal.
Sementara itu, K dan P sudah saling mengenal sebelumnya karena mereka bergabung dalam organisasi yang sama. Mereka adalah pengedar narkoba yang bertugas mendistribusikan narkoba di wilayah barat kota. Mereka menawari narkoba pada pasar tertentu: pelanggan diskotek, anak sekolah, dan birokrat.
Mereka berhasil ditangkap dalam sebuah operasi yang dilaksanakan polisi setempat. Polisi rupanya sudah menyelidiki jaringan mereka, lalu menggerebek markas mereka di sebuah gudang, dan menyita satu kilogram heroin, yang sudah siap diedarkan. Mereka kemudian disidang secara terpisah, tetapi mendapat vonis yang sama: 15 tahun penjara!
B terlihat lebih bersih, terlihat seperti orang baik-baik. Tidak ada tato pada tubuhnya. Namun, bibirnya tampak gelap. Sudah dapat ditebak kalau dia sudah menjadi pecandu rokok sekian tahun. Nikotin sudah menggelapkan kulit dan bibirnya.
Namun, setelah berbicara dengan mereka, aku jadi mulai akrab. Tampaknya keakraban tersebut terjalin karena kami mempunyai nasib yang hampir sama. Kami terjebak di tempat yang sama. Kami mempunyai kisah yang hampir sama. Kami pun harus menanggung penderitaan yang sama. Kesamaan itu menjadi sebuah benang merah yang menyatukan kami.
Pandanganku terhadap situasi lapas mulai berubah. Awalnya aku membayangkan betapa buruknya kondisi sel penjara: dingin, sepi, dan pengap. Namun, aku baru menyadari bahwa lapas lebih mirip seperti kos-kosan. Sel tempat kami berempat tinggal berukur 3x4 m, beranjang susun, dicat berwarna biru laut, tampak bersih walaupun toilet terletak di dalam sel masing-masing. Hanya saja, pintu sel bukan terbuat dari kayu, melainkan terbikin dari jeruji besi, sehingga siapapun bisa melongok apa yang sedang dikerjakan penghuninya.
Alih-alih menghabiskan masa tahan kami dengan hanya tidur-tiduran di sel, kami melakukan pelbagai kegiatan di lapas. Kami belajar bercocok tanam di halaman belakang lapas. Ada tanah seluas 4000 meter2 yang memang dijadikan sebagai lahan untuk menanam beberapa sayuran.
Kami pun menanam sayuran, seperti wortel, sawi, dan bawang, dan memelihara sayuran tersebut sampai masa panen. Atas kemurahan hati sebuah perusahaan, hasil panen tersebut kemudian distok dan dijual ke pasar. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi-bagi kepada pengelola kebun. Namun, alih-alih membagi uang secara langsung, hasil penjualan disetorkan ke rekening para pengelola masing-masing karena memang ada peraturan kalau pada napi dilarang menerima uang tunai.
Setiap bulan keluarga dibolehkan datang berkunjung. Itu adalah momen yang paling ditunggu-tunggu para napi. Itu adalah kesempatan berharga karena mereka mempunyai waktu untuk melepas kangen. Namun, semua itu tidak berlaku untukku. Keluargaku tidak pernah datang setiap bulan lantaran pertemuan kami dibatasi oleh jarak dan biaya.
Keluargaku hanya berkunjung menjelang lebaran. Aku ingat kunjungan pertama keluargaku berlangsung mengharukan. Ibuku tercinta datang ditemani abangku. Selama ini, yang mengurus semua persoalanku adalah abangku, dan aku merasa berhutang budi padanya karena sudah mau berbaik hati padaku. Ibuku segera memelukku, menumpahkan semua air matanya di baju tahananku. Kami memang tidak berbicara sepatah kata pun dalam keharuan tersebut, tetapi tangisan kami telah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Perasaan tersebut semakin kuat beberapa hari sebelum aku menghidup udara bebas. Aku tidur-tiduran di kasurku, memandangi langit-langit sel yang bersawang, dan melihat cicak yang merayap di dinding. Mungkin hanya cicak itu yang bisa memahami perasaanku karena hewan adalah makhluk yang paling jujur dan peka terhadap emosi makhluk di sekitarnya.
Aku menyalami B, K, dan P. Sedih memang, tetapi aku harus berpisah dengan mereka. Aku menatapi wajah mereka karena mungkin saja aku tidak akan pernah melihat wajah mereka lagi. Sipir membawaku ke pintu gerbang. Aku pun menyalaminya dan mengucapkan selamat tinggal.
Kini aku mempunyai satu tujuan: pulang. Aku mau bertemu dengan kelurgaku. Jadi, dengan uang hasil kerjaku selama di lapas, aku membeli tiket bis. Bis yang kutumpangi membawaku menelusuri jalan yang dulu pernah kulalui.
Keluargaku menyambutku dengan ledakan tangis bahagia. Ibuku, abangku, dan adik-adikku memeluk dan menangis bersamaku. Anggota keluarga yang dulu pergi mengembara kini telah kembali ke rumahnya.
Aku telah melewatkan banyak momen selama aku berada di lapas. Abangku sudah menikah dengan seorang gadis kampung, dan istrinya kini sedang mengandung. Adik-adikku sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMP, dan kini sebagian sudah bekerja di sebuah pabrik yang baru dibangun.
Aku pun memulai hariku yang baru sebagai manusia yang merdeka. Namun, semua itu ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Aku mengajukan lamaran pekerjaan, tetapi ternyata semuanya menolakku. Teman-teman yang dulu yang sangat akrab denganku kini pun menjauhiku. Setiap aku lewat di depan rumah tetangga, para tetangga selalu menatapku dengan mata yang penuh curiga. Ibu-ibu sering menggunjingkan kehadiranku. Mereka menjauhkan anak-anaknya dariku. Padahal, aku tidak mempunyai niat jahat sedikit pun. Akhirnya beginilah aku: mantan narapidana, penganggur, dan terisolasi dari pergaulan.
Aku memahami situasi abangku. Tentu sangat berat kalau kita harus memilih satu di antara dua orang yang kita sayang. Jadi, aku menemui abangku dan berbicara serius dengannya.
“Aku akan pergi,” kataku padanya dan ia tampak kaget.
“Aku bisa menyelesaikan masalah ini,” katanya. “Aku tidak sanggup melihat ibu menderita lagi. Tahukah kau bahwa ibu terus bersedih sewaktu mengetahui kalau kau ditahan dulu? Tinggallah di sini. Jangan biarkan ibu bersedih seperti dulu. Aku akan mencari jalan keluar.”
Mataku mulai berair seperti butiran embun yang hampir menitik di sela daun. “Namun, bukan hanya istrimu, tetangga kita pun tidak lagi mengharapkan kehadiranku,” kataku gemetar dalam kesedihan. “Bagi mereka, kehadiranku adalah sebuah aib.”
Abangku tiba-tiba saja menjabat tanganku. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” katanya seraya bangkit meninggalkanku.
Namun, aku tidak bisa menuruti nasihat abangku. Aku menulis surat perpisahan untuk keluargaku. Lalu, pada malam harinya aku pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan siapapun ketika kampung sedang tenggalam dalam tidur dan sunyi.
Dengan langkah berat aku pergi dari rumah.
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI