Alih-alih menghabiskan masa tahan kami dengan hanya tidur-tiduran di sel, kami melakukan pelbagai kegiatan di lapas. Kami belajar bercocok tanam di halaman belakang lapas. Ada tanah seluas 4000 meter2 yang memang dijadikan sebagai lahan untuk menanam beberapa sayuran.
Kami pun menanam sayuran, seperti wortel, sawi, dan bawang, dan memelihara sayuran tersebut sampai masa panen. Atas kemurahan hati sebuah perusahaan, hasil panen tersebut kemudian distok dan dijual ke pasar. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi-bagi kepada pengelola kebun. Namun, alih-alih membagi uang secara langsung, hasil penjualan disetorkan ke rekening para pengelola masing-masing karena memang ada peraturan kalau pada napi dilarang menerima uang tunai.
Setiap bulan keluarga dibolehkan datang berkunjung. Itu adalah momen yang paling ditunggu-tunggu para napi. Itu adalah kesempatan berharga karena mereka mempunyai waktu untuk melepas kangen. Namun, semua itu tidak berlaku untukku. Keluargaku tidak pernah datang setiap bulan lantaran pertemuan kami dibatasi oleh jarak dan biaya.
Keluargaku hanya berkunjung menjelang lebaran. Aku ingat kunjungan pertama keluargaku berlangsung mengharukan. Ibuku tercinta datang ditemani abangku. Selama ini, yang mengurus semua persoalanku adalah abangku, dan aku merasa berhutang budi padanya karena sudah mau berbaik hati padaku. Ibuku segera memelukku, menumpahkan semua air matanya di baju tahananku. Kami memang tidak berbicara sepatah kata pun dalam keharuan tersebut, tetapi tangisan kami telah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Perasaan tersebut semakin kuat beberapa hari sebelum aku menghidup udara bebas. Aku tidur-tiduran di kasurku, memandangi langit-langit sel yang bersawang, dan melihat cicak yang merayap di dinding. Mungkin hanya cicak itu yang bisa memahami perasaanku karena hewan adalah makhluk yang paling jujur dan peka terhadap emosi makhluk di sekitarnya.
Aku menyalami B, K, dan P. Sedih memang, tetapi aku harus berpisah dengan mereka. Aku menatapi wajah mereka karena mungkin saja aku tidak akan pernah melihat wajah mereka lagi. Sipir membawaku ke pintu gerbang. Aku pun menyalaminya dan mengucapkan selamat tinggal.
Kini aku mempunyai satu tujuan: pulang. Aku mau bertemu dengan kelurgaku. Jadi, dengan uang hasil kerjaku selama di lapas, aku membeli tiket bis. Bis yang kutumpangi membawaku menelusuri jalan yang dulu pernah kulalui.
Keluargaku menyambutku dengan ledakan tangis bahagia. Ibuku, abangku, dan adik-adikku memeluk dan menangis bersamaku. Anggota keluarga yang dulu pergi mengembara kini telah kembali ke rumahnya.
Aku telah melewatkan banyak momen selama aku berada di lapas. Abangku sudah menikah dengan seorang gadis kampung, dan istrinya kini sedang mengandung. Adik-adikku sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMP, dan kini sebagian sudah bekerja di sebuah pabrik yang baru dibangun.