Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Rumah untuk J (1)

27 Juli 2016   07:27 Diperbarui: 27 Juli 2016   09:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

www.regional.kompas.com
www.regional.kompas.com
Memang itu adalah cara yang aneh dalam mengirim paket. Namun, setelah aku berhasil mengirim barang tersebut, S menepati janjinya. Ia memberiku dua puluh lima juta sesuai kesepakatan sebelumnya.

Tiga bulan kemudian, S memberiku tugas baru. Aku harus mengirim paket ke sebuah pulau. Oleh karena tempat tersebut sangat jauh, S menawariku imbalan yang lebih besar lagi. Aku pun menjalankan tugas tersebut dengan sukses dan bertambahlah pundi-pundi kekayaanku. Sampai di titik itu, aku mulai merasa bahwa mencari uang itu mudah sekali.

S terus memberiku tugas baru beberapa bulan kemudian dan aku sanggup melaksanakannya dengan baik. Sampai suatu ketika, S memberiku tugas untuk mengirim paket ke luar negeri. Tugas itu tentu saja berbeda dari tugas-tugas sebelumnya. Kalau sebelumnya, ia hanya memintaku mengirim paket dalam negeri, kini aku harus mengatar sebuah paket ke luar negeri. Paket yang akan diantar juga jauh lebih besar dan berat daripada sebelumnya.

Namun, aku menyanggupinya lantaran S sudah menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan, seperti paspor, uang saku, tiket pesawat, dan tentu saja janji berupa imbalan yang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Aku belum pernah ke bandara sebelumnya. Aku juga belum pernah naik pesawat sebelumnya. Aku berpikir bahwa itu pasti adalah pengalaman yang sangat berkesan dalam hidupku. Namun, peristiwa yang kualami kemudian menciptakan penyesalan yang hebat dalam hidupku sebab pada saat aku memeriksakan barang bawaanku, tiba-tiba saja petugas berteriak, menciptakan kegaduhan yang menyedot perhatian. Segera saja, lima petugas keamanan menubruk tubuhku hingga aku terjatuh, membekap tanganku, menodongku dengan pentungan, lalu membawaku ke sebuah ruangan yang tidak kukenali.

Di ruangan itulah aku diintrogasi oleh beberapa petugas yang mengucapkan kata-kata ancaman. “Dari mana kau dapat barang itu?” kata mereka, dengan suara berat dan dingin. Aku bungkam sebab S menginstruksikan demikian. Namun, saat mereka mulai memukuliku, aku akhirnya buka mulut. “Aku tidak tahu,” kataku. “Aku hanya mendapat tugas buat mengirim paket itu ke sebuah tempat.” Titik. Itu saja. Aku terus mengulangi perkataan itu karena memang aku mengatakan yang sejujurnya.

www.youtube.com
www.youtube.com
Masalah semakin rumit saat aku harus dibawa ke kantor polisi. Di kantor polisi, aku dituduh telah menyelundupkan narkoba. “Apa? Narkoba?” Aku membatin. Narkoba itu disembunyikan ke dalam paket, yang berisi mainan anak, dan aku tidak tahu sama sekali isi paket itu karena S tidak pernah menjelaskan isi paket yang harus aku antar. Aku pun menceritakan semua peristiwa yang aku alami di hadapan polisi, tetapi siapa yang mau percaya pada cerita seorang pemuda tanggung yang dituduh sebagai pengedar narkoba internasional?

Enam bulan kemudian aku menjalani sidang dan hakim memvonis 10 tahun penjara. Aku terhenyak sewaktu mendengar vonis tersebut. “Sepuluh tahun!” Di dalam sel tahanan aku stres. Aku frustrasi. Aku depresi. Kepalaku seperti bom yang hendak meledak.

Setelah vonis tersebut, aku dipindahkan ke sebuah lapas. Aku merinding membayangkan kondisi lapas yang akan aku tempati: sarang para kriminal, jeruji besi yang dingin, makanan yang buruk. Dalam pikiranku, lapas adalah gua batu yang paling purba dan terisolasi dari dunia, atau bahkan lebih buruk.

Namun, semua bayangan itu pupus setelah aku menjejakkan kaki di lapas tersebut. Lapas tersebut tampak lebih bersih, lebih tertata, lebih rapi. Bahkan, lebih bagus dari rumahku sendiri. Aku pun menjalani kehidupan baruku sebagai napi di lapas tersebut... (bersambung).

[Cerita selanjutnya Rumah untuk J (2)]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun