Tiga bulan kemudian, S memberiku tugas baru. Aku harus mengirim paket ke sebuah pulau. Oleh karena tempat tersebut sangat jauh, S menawariku imbalan yang lebih besar lagi. Aku pun menjalankan tugas tersebut dengan sukses dan bertambahlah pundi-pundi kekayaanku. Sampai di titik itu, aku mulai merasa bahwa mencari uang itu mudah sekali.
S terus memberiku tugas baru beberapa bulan kemudian dan aku sanggup melaksanakannya dengan baik. Sampai suatu ketika, S memberiku tugas untuk mengirim paket ke luar negeri. Tugas itu tentu saja berbeda dari tugas-tugas sebelumnya. Kalau sebelumnya, ia hanya memintaku mengirim paket dalam negeri, kini aku harus mengatar sebuah paket ke luar negeri. Paket yang akan diantar juga jauh lebih besar dan berat daripada sebelumnya.
Namun, aku menyanggupinya lantaran S sudah menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan, seperti paspor, uang saku, tiket pesawat, dan tentu saja janji berupa imbalan yang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Aku belum pernah ke bandara sebelumnya. Aku juga belum pernah naik pesawat sebelumnya. Aku berpikir bahwa itu pasti adalah pengalaman yang sangat berkesan dalam hidupku. Namun, peristiwa yang kualami kemudian menciptakan penyesalan yang hebat dalam hidupku sebab pada saat aku memeriksakan barang bawaanku, tiba-tiba saja petugas berteriak, menciptakan kegaduhan yang menyedot perhatian. Segera saja, lima petugas keamanan menubruk tubuhku hingga aku terjatuh, membekap tanganku, menodongku dengan pentungan, lalu membawaku ke sebuah ruangan yang tidak kukenali.
Di ruangan itulah aku diintrogasi oleh beberapa petugas yang mengucapkan kata-kata ancaman. “Dari mana kau dapat barang itu?” kata mereka, dengan suara berat dan dingin. Aku bungkam sebab S menginstruksikan demikian. Namun, saat mereka mulai memukuliku, aku akhirnya buka mulut. “Aku tidak tahu,” kataku. “Aku hanya mendapat tugas buat mengirim paket itu ke sebuah tempat.” Titik. Itu saja. Aku terus mengulangi perkataan itu karena memang aku mengatakan yang sejujurnya.
Enam bulan kemudian aku menjalani sidang dan hakim memvonis 10 tahun penjara. Aku terhenyak sewaktu mendengar vonis tersebut. “Sepuluh tahun!” Di dalam sel tahanan aku stres. Aku frustrasi. Aku depresi. Kepalaku seperti bom yang hendak meledak.
Setelah vonis tersebut, aku dipindahkan ke sebuah lapas. Aku merinding membayangkan kondisi lapas yang akan aku tempati: sarang para kriminal, jeruji besi yang dingin, makanan yang buruk. Dalam pikiranku, lapas adalah gua batu yang paling purba dan terisolasi dari dunia, atau bahkan lebih buruk.
Namun, semua bayangan itu pupus setelah aku menjejakkan kaki di lapas tersebut. Lapas tersebut tampak lebih bersih, lebih tertata, lebih rapi. Bahkan, lebih bagus dari rumahku sendiri. Aku pun menjalani kehidupan baruku sebagai napi di lapas tersebut... (bersambung).
[Cerita selanjutnya Rumah untuk J (2)]