Sebut saja aku J. Aku mempunyai nama yang sesungguhnya, dan nama itu bukanlah nama yang buruk. Namun, untuk melindungi privasiku, aku lebih suka dipanggil J karena sebutan itu bebas dari label prasangka. Lagipula, teman-temanku lebih suka menyebutku J.
Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ayahku adalah seorang buruh pabrik, sementara ibuku hanyalah ibu rumah tangga. Kami tinggal di sebuah kampung kecil yang terletak di pinggir kota. Sebuah kampung yang membutuhkan lebih banyak sentuhan pembangunan.
Kalau kau mau berkunjung ke kampungku, kau harus siap-siap menempuh medan yang menantang. Kau harus siap menempuh jalan beraspal yang buruk. Kau juga harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang sudah sangat tua. Kau juga harus melintasi jalan setapak yang membelah sawah dan kebun-kebun kosong. Memang bukan sebuah tempat tinggal yang ramah bagi para tamu yang datang dari jauh.
Penduduk di kampungku mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Mereka memang sebagian besar sudah terbebas dari buta huruf karena sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar walaupun setahun-dua tahun. Namun, hanya sedikit yang menyelesaikan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya itu ada alasannya.
Letak sekolah jauh dari kampung kami. Sekolah terdekat saja jaraknya sepuluh kilo dari kampung kami. Aku ingat betapa sulitnya jalan menuju sekolah tersebut. Aku harus berangkat ke sekolah sekitar jam 4 subuh. Dengan membawa lampu petromaks, aku bersama sejumlah teman berjalan melintasi sawah-sawah yang masih sepi. Suara nyanyian katak pada sisa malam mengiringi kami sepanjang perjalanan. Kami harus berhati-hati juga karena ular sawah sering lewat di jalan kami dan aku adalah satu-satunya yang paling takut dengan ular walaupun ular tersebut tidak mematikan.
Setelah satu setengah jam berjalan, kami tiba di sebuah jembatan yang sudah rapuh. Jembatan itu adalah jalan pintas menuju sekolah. Kalau lewat jalan biasa, kami harus berjalan lebih jauh, dan tentunya itu memboroskan waktu dan tenaga kami.
Jembatan itu adalah jembatan swadaya bikinan penduduk kampung. Oleh sebab itu, kualitasnya pun jangan kau tanya. Kami harus melewati jalan tersebut satu per satu karena papan-papan yang menjadi alas jembatan sudah rapuh dimakan usia.
Saat aku berjalan melewati jembatan tersebut, satu sapuan angin dingin dan pemandangan batu-batuan terjal yang terdapat di bawah jembatan sudah membuat tempurung lututku bergetar. Jadi, aku menapaki kakiku perlahan-lahan sambil memegang tali tambang kuat-kuat. Kalau kau ingat satu adegan dalam film Indiana Jones, persis seperti itu yang aku alami saat menyeberangi sungai.
Namun, aku bahagia di sekolah karena aku mempunyai banyak teman. Oleh sebab itu, ketika orang dinas pendidikan dari kota datang mewawancariku apakah aku bahagia bersekolah, dengan wajah lugu, aku tersenyum kepadanya. Bagiku, sekolah adalah tempat yang dibangun oleh impian anak-anak. Impian mengaburkan keterbatasan fisik karena memang impian lebih indah daripada kenyataan.
Namun, semua impian itu akhirnya usai. Aku harus bangun dan melihat dunia nyata, terutama setelah ayahku meninggal karena mengalami kecelakaan kerja. Oleh sebab itu, aku terpaksa berhenti sekolah ketika umurku 16 tahun (aku baru kelas 5 SD waktu itu karena aku telat mendaftar sekolah) dan aku harus membantu abangku bekerja.
Aku kerja serabutan. Aku sempat menjadi tukang bangunan. Aku sempat menjadi penjual sayur. Aku sempat menjadi buruh tani. Semua pekerjaan itu dilakukan selama setahun, dan aku merasa semua jerih payahku menguap begitu saja, karena satu-satunya yang kunikmati adalah rasa capai yang berkepanjangan.
Akhirnya aku bilang kepada abangku bahwa aku akan pergi merantau. Aku mau mengubah nasib. Setelah aku sungkem di hadapan ibu dan mengutarakan maksudku, ibu memberiku restu dengan membelai rambutku yang kasar dan berbau prengus. Dengan berurai air mata, ibu melepasku pergi dari beranda rumah, dan dari situ aku memahami betul-betul peribahasa kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa.
Walaupun takut oleh bayang-bayang masa depan yang penuh ketidakpastian, aku terus mendorong diriku maju. Aku telah memaksa diri sehingga aku tak bisa berpaling lagi. Tanpa ijazah di tangan, dengan hanya berbekal doa, aku berangkat menuju kota naik sebuah kereta barang.
Sesampainya di kota aku hidup menggelandang tanpa arah tanpa tujuan. Di kota aku berkerja apapun asal bisa tetap makan dan bisa membayar uang kos tempat aku tinggal. Jadi, aku pernah menjalani hari-hariku sebagai kernet metromini yang sopirnya ugal-ugalan. Metromini yang aku kerneti dikemudikan oleh sopir cabutan. Walau tidak mempunyai SIM, asal bisa nyetir, sopir itu pasti dibolehkan mencari penumpang.
Aku menyaksikan tayangan berita kecelakaan itu di sebuah warung kopi dan aku sempat terkejut. “Hei, bukankah itu metromini yang biasanya aku kerneti?” Aku membatin, sekaligus merinding membayangkan bagaimana kalau aku yang mengalami peristiwa itu. Namun, untungnya aku bolos kerja waktu itu lantaran tubuhku sedang meriang. Jadi, aku lolos dari maut dan aku bersyukur bisa selamat dari peristiwa maut itu.
Selanjutnya aku belajar mengemudikan truk. Setelah tiga bulan ikut teman, aku pun bekerja sebagai sopir truk ekspedisi. Pekerjaan itu jauh lebih aman karena nyawaku bukan berada di tangan orang lain lagi, dan upah yang kuperoleh pun jauh lebih besar daripada sebelumnya. Aku terbiasa menyetir semalaman, melintasi pulau, dan mengatar barang ke pelabuhan. Namun, pekerjaan itu pun hanya berlangsung dua tahun.
Oleh karena sering mengamati aktivitas di pelabuhan, aku memutuskan bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan. Memang itu adalah pekerjaan kasar, tetapi upahnya lebih besar daripada sebelumnya, dan juga tubuhku jarang sakit, tidak seperti dulu sewaktu aku masih menjadi sopir truk, yang harus bekerja sepanjang malam, sehingga membikin daya tahan tubuh menurun.
Namun demikian, aku masih harus mencari lebih banyak uang untuk menyokong keluargaku di kampung. Setiap dua bulan aku mengirim lima juta rupiah ke kampung untuk keperluan keluargaku. Tidak lama kemudian aku didatangi oleh seorang laki-laki, yang kita sebut saja S. S menawariku pekerjaan mudah dengan upah berlimpah. Aku akan mendapat uang 25 juta kalau aku bisa mengirimkan barang ke lokasi yang sudah ditentukan olehnya. Ketika aku mendengar nominal tersebut, tubuhku bergetar. “Dua puluh lima juta hanya untuk mengantar barang! Siapa yang mau melewatkan kesempatan tersebut?!” Aku membatin.
Namun, pada waktu itu, aku masih terlalu naif. Jadi, aku menerima pekerjaan itu tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin aku dapat. Dua minggu kemudian aku mendapat tugas mengirim paket ke pulau lain. Namun, S memintaku memilih jalur lain.
Aku pun pergi mengantar paket tersebut dengan menumpang truk ekspedisi temanku. Aku menyeberangi lautan bukan lewat pelabuhan, melainkan lewat dermaga bayangan, dan dari situ, aku menaiki sebuah perahu tongkang yang sudah reot. Selanjutnya aku melanjutkan perjalanan menembus perbatasan kota lewat jalur lain sesuai arahan dari S.
Tiga bulan kemudian, S memberiku tugas baru. Aku harus mengirim paket ke sebuah pulau. Oleh karena tempat tersebut sangat jauh, S menawariku imbalan yang lebih besar lagi. Aku pun menjalankan tugas tersebut dengan sukses dan bertambahlah pundi-pundi kekayaanku. Sampai di titik itu, aku mulai merasa bahwa mencari uang itu mudah sekali.
S terus memberiku tugas baru beberapa bulan kemudian dan aku sanggup melaksanakannya dengan baik. Sampai suatu ketika, S memberiku tugas untuk mengirim paket ke luar negeri. Tugas itu tentu saja berbeda dari tugas-tugas sebelumnya. Kalau sebelumnya, ia hanya memintaku mengirim paket dalam negeri, kini aku harus mengatar sebuah paket ke luar negeri. Paket yang akan diantar juga jauh lebih besar dan berat daripada sebelumnya.
Namun, aku menyanggupinya lantaran S sudah menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan, seperti paspor, uang saku, tiket pesawat, dan tentu saja janji berupa imbalan yang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Aku belum pernah ke bandara sebelumnya. Aku juga belum pernah naik pesawat sebelumnya. Aku berpikir bahwa itu pasti adalah pengalaman yang sangat berkesan dalam hidupku. Namun, peristiwa yang kualami kemudian menciptakan penyesalan yang hebat dalam hidupku sebab pada saat aku memeriksakan barang bawaanku, tiba-tiba saja petugas berteriak, menciptakan kegaduhan yang menyedot perhatian. Segera saja, lima petugas keamanan menubruk tubuhku hingga aku terjatuh, membekap tanganku, menodongku dengan pentungan, lalu membawaku ke sebuah ruangan yang tidak kukenali.
Di ruangan itulah aku diintrogasi oleh beberapa petugas yang mengucapkan kata-kata ancaman. “Dari mana kau dapat barang itu?” kata mereka, dengan suara berat dan dingin. Aku bungkam sebab S menginstruksikan demikian. Namun, saat mereka mulai memukuliku, aku akhirnya buka mulut. “Aku tidak tahu,” kataku. “Aku hanya mendapat tugas buat mengirim paket itu ke sebuah tempat.” Titik. Itu saja. Aku terus mengulangi perkataan itu karena memang aku mengatakan yang sejujurnya.
Enam bulan kemudian aku menjalani sidang dan hakim memvonis 10 tahun penjara. Aku terhenyak sewaktu mendengar vonis tersebut. “Sepuluh tahun!” Di dalam sel tahanan aku stres. Aku frustrasi. Aku depresi. Kepalaku seperti bom yang hendak meledak.
Setelah vonis tersebut, aku dipindahkan ke sebuah lapas. Aku merinding membayangkan kondisi lapas yang akan aku tempati: sarang para kriminal, jeruji besi yang dingin, makanan yang buruk. Dalam pikiranku, lapas adalah gua batu yang paling purba dan terisolasi dari dunia, atau bahkan lebih buruk.
Namun, semua bayangan itu pupus setelah aku menjejakkan kaki di lapas tersebut. Lapas tersebut tampak lebih bersih, lebih tertata, lebih rapi. Bahkan, lebih bagus dari rumahku sendiri. Aku pun menjalani kehidupan baruku sebagai napi di lapas tersebut... (bersambung).
[Cerita selanjutnya Rumah untuk J (2)]
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H