Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menjinakkan Amarah dengan 3 M

30 Mei 2016   07:40 Diperbarui: 30 Mei 2016   08:02 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah ciutan di akun twitter miliknya, Goenawan Mohammad pernah menulis, “Semoga kemarahan kami tak sampai menelan kami dan tak menjadikan kami orang-orang yang membenci. Amin.”

Sebagaimana kutipan tulisan tersebut, kemarahan sebetulnya adalah salah satu emosi yang manusiawi. Kita semua pernah mengalaminya. Kita semua pernah merasakannya.

Hanya saja tingkat emosi itu berbeda-beda untuk setiap orang, bergantung situasi dan temperamen orang tersebut.

Berdasarkan pengalaman, tentunya kita pernah menjumpai orang yang tetap tenang saat mengalami situasi yang memanas sekali pun.

Orang tersebut dapat mengelola emosinya sedemikian rupa sehingga tidak larut dalam konflik.

Daniel Goleman, penulis buku Kecerdasan Emosional, menyebutnya sebagai orang yang mempunyai kecakapan emosi yang baik.

Sebaliknya, kita pun pernah melihat orang yang mudah sekali tersulut amarah hanya karena persoalan sepele.

Dengan mudah, ia dapat menyerang seseorang dengan kekerasan atau kata-kata kasar, karena merasa sangat tersinggung oleh perkataan atau perbuatan orang lain.

Ia tidak terampil mengendalikan emosinya sehingga luapan emosi yang berlebihan itu tak hanya merusak dirinya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.

Walaupun tergolong emosi yang wajar, apabila seseorang tidak terampil mengelola kemarahannya, emosi tersebut dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan.

Sebagai contoh, banyak kasus perceraian awalnya bersumber dari kemarahan. Suami-istri tidak mampu menjaga emosinya sehingga menyebabkan pertengkaran hebat sepanjang usia pernikahan.

Akhirnya, walaupun sudah resmi berpisah, luka batin yang ditimbulkan akibat kemarahan tersebut terus saja membekas di dalam ingatan mereka, dan tentunya emosi tersebut turut menghancurkan kebahagiaan orang tersebut dan orang lain.

Kemudian, pergantian karyawan yang sering terjadi di sebuah perusahaan bisa saja berasal dari ketidakmampuan atasan dalam mengendalikan emosinya.

Siapa yang bisa bekerja lama di bawah atasan yang suka ngomel-ngomel hampir setiap hari?

Siapa juga yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik kalau bosnya sering melampiaskan kemarahan dengan cara meledak-ledak?

Siapa pula yang bisa produktif bekerja kalau setiap hari terus ditekan oleh bos yang sok berkuasa?

Yang terjadi justru kontra produktif bagi perusahaan tersebut, dan jelas hal itu akan menimbulkan banyak kerugian bagi perusahaan.

Satu kasus lagi. Demonstrasi yang berakhir anarki pun bisa disebabkan oleh letusan amarah satu atau beberapa orang.

Demontrasi itu mungkin awalnya berlangsung tertib. Dengan mudah, polisi pun mengendalikan jalannya demonstrasi.

Namun, saat satu atau bebarapa orang memprovokasi, orang-orang pun bisa lepas kendali, dan terjadilah anarki yang sering kita jumpai di televisi. Semua itu adalah efek negatif yang ditimbulkan oleh amarah.

Kesalahan dalam Melepaskan Amarah

Dalam banyak kesempatan kita sering diajarkan supaya tidak memendam amarah dalam hati. Kita pun sering diberi tahu bahwa amarah itu tidak baik untuk kesehatan kita.

Namun, kita jarang ditunjukkan cara melepas amarah yang benar. Oleh sebab itu, kita terbiasa melepas amarah dengan cara keliru, yaitu lewat kata-kata dan tindakan fisik yang cenderung kasar.

Saya ingin berbagi sebuah kisah. Kisah tersebut menunjukkan betapa buruknya dampak yang ditimbulkan akibat pelampiasan kemarahan secara keliru.

Kisahnya begini. Seorang direktur perusahaan mengunjungi seorang psikiater.

Ia ingin meminta saran supaya temperamen amarahnya berkurang karena dia merasa bahwa sifatnya yang suka meledak-ledak menyebabkan banyak kekacauan dalam perusahaannya.

Alih-alih memberinya obat penenang atau semacamnya, psikiater tersebut malah memberinya sebuah papan.

“Kalau Anda merasa marah yang tak tertahankan, coba Anda tancapkan paku pada papan itu,” katanya. “Seminggu lagi bawa papan ini lagi, dan mari kita lihat hasilnya.”

Seminggu kemudian, direktur tersebut datang lagi. Ia menunjukkan papan yang penuh dengan paku.

Psikiater itu kemudian berkata, “Bawa papan ini minggu depan kepada saya lagi. Namun, Anda harus melakukan sesuatu. Setiap kali Anda berhasil menahan amarah Anda, lepas satu paku pada papan tersebut.”

Direktur tersebut setuju melakukannya.

Memang dibutuh waktu lebih dari seminggu supaya direktur mampu mencabut semua paku pada papan tersebut. Saat semua tugas tersebut selesai dilaksanakan, ia mendatangi psikiater tersebut dengan perasaan bahagia.

“Cara Anda berhasil,” katanya. “Kini saya lebih mampu mengendalikan kemarahan saya.”

“Lihat,” katanya lagi sambil menunjukkan papan tersebut. “Saya sudah berhasil mencabut semua paku pada papan ini.”

“Selamat!” Kata psikiater itu seraya tersenyum. “Namun, tidakkah Anda melihat lubang-lubang bekas paku tersebut?”

“Ya, ada banyak lubang di papan itu.”

“Anda mungkin telah berhasil mencabut semua kemarahan yang pernah Anda lampiaskan seperti paku-paku itu,” kata si psikiater. “Namun, tetap saja rusaknya hubungan Anda dengan orang lain akibat kemarahan Anda masih menimbulkan bekas dalam diri masing-masing.”

“Seperti lubang-lubang di papan itu,” tambahnya, “kerusakan tersebut akan berlangsung lebih lama.”

Kita tentu pernah membalas kata-kata kasar seseorang terhadap kita. Kita mengumpat. Kita memaki. Kita mengkritik dengan penuh kemarahan.

Kita mungkin pernah menggebrak meja; mungkin juga pernah membanting telepon; atau menendang tempat sampah hanya untuk melampiaskan amarah.

Benar semua itu dapat memberi kita sebuah perasaan lega. Benar semua itu membuat kita puas, walaupun hanya sementara.

Namun, ekspersi kemarahan itu justru menimbulkan efek buruk bagi diri kita, kalau kita tidak mengetahui cara mengungkapkannya dengan baik.

3 M

Ada banyak metode untuk meredakan amarah yang muncul. Namun, pada kesempatan ini, izinkan saya menjelaskan metode 3 M, yang sering saya gunakan untuk menetralisir kemarahan.

Berikut ini adalah metode tersebut.

Pertama, Mengenaliperasaan marah yang muncul pada bagian tubuh tertentu. Kemarahan umumnya ditandai oleh gejala seperti jantung berdetak cepat, perasaan panas pada tubuh, dan banjir hormon adrenalin yang bisa membangkitkan energi yang dahsyat.

Memang tidaklah mudah untuk mengenali amarah ketika perasaan tersebut muncul dalam hati, apalagi kalau intensitasnya tinggi. Oleh sebab itu, kita harus lebih banyak berlatih kesadaran diri.

Latihan meditasi dan yoga sederhana dapat membantu kita untuk meningkatkan kesadaran diri tersebut.

Sebagai contoh, saat ada seorang pengendara sepeda motor yang memberi lampu sent ke kiri, tetapi malah belok ke kanan, dan kita hampir bertabrakan dengannya, respon yang timbul tentu saja adalah marah.

Kita merasakan perasaan tersebut muncul perlahan-lahan. Nah, sebelum kita tenggelam dalam kemarahan, kita harus mengenali sensasi tubuh yang muncul.

Pada waktu itulah kita dapat meredakan emosi tersebut secepatnya, dan memulihkan kembali akal sehat kita.

Kedua, Membahasakanperasaan tersebut. Kita perlu menamai perasaan tersebut dalam batin.

Kita bisa merenung, “Saat ini, saya hampir mengalami kecelakaan akibat kelalaian orang lain, dan saya merasa marah.”

Kita bisa juga merenung, “Timbul kekesalan dalam diri saya,” atau, “Kemarahan saya semakin menguat.”

Hal itu pun sulit dilakukan kalau kita belum terbiasa. Maka, kita perlu belajar membahasakan semua perasaan di hati setiap hari.

Saat merasakan perasaan senang, misalnya, kita membahasakan dalam batin, “Kini saya merasa bahagia.”

Saat merasa sedih, kita merenung, “Perasaan sedih muncul dalam diri saya.”

Saat merasa galau, kita berucap, “Saya sedang galau.”

Semua itu akan menjadi semacam alarm alami terhadap timbulnya semua emosi dalam diri kita sepanjang hari.

Ketiga, Melepaskanamarah dengan melakukan pernafasan relaksasi dan affirmasi.

Caranya begini. Setelah kita membahasakan perasaan marah tersebut, kita perlu melakukan penenangan.

Kita menarik nafas yang dalam, tahan sekitar empat detik, lalu hembuskan nafas lewat mulut seolah Anda sedang bersiul, sambil mengucapkan dalam hati, “Aku melepaskan semua perasaan marah ini.”

Ulangi semua itu sebanyak tiga kali, sampai tingkat kemarahan Anda lebih rendah.

Kalau masih terdapat sisa kemarahan, silakan letakkan telapak tangan Anda ke dada kanan atau kiri, kemudian mengucapkan, “Meskipun masih terdapat sisa kemarahan dalam diri saya, saya berniat melepaskan semua sisa amarah tersebut untuk kebahagiaan saya saat ini dan selama-lamanya.”

Lalu, hirup nafas dalam-dalam dan hembuskan perlahan-lahan lewat mulut, seperti langkah sebelumnya.

Metode 3 M, yaitu Mengenali, Membahasakan,danMelepaskan, yang baru saja saya jelaskan jauh lebih baik untuk menetralkan perasaan marah daripada kita mengekspresikannya secara frontal.

Nah, selamat berlatih metode 3 M tersebut. Semoga Anda terbebas dari kemarahan dan hidup lebih bahagia.

28-30 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun