Mohon tunggu...
Adi MC
Adi MC Mohon Tunggu... Administrasi - Lectio contra est

''Kemanusiaan di atas segalanya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Barmince dan Morokani yang Malang

29 Juni 2024   07:58 Diperbarui: 29 Juni 2024   08:06 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Morokani yang Malang

Di bawah kaki gunung Tata,  tempat semua leluhur Matu berkumpul sambil menjaga wilayah adat,  masyarakat kampung Munggui telah lama hidup dalam kewaspadaan sebab perang akan terus berkecamuk di wilayah ini,  entah itu antara suku marga Karayopi dan suku marga Matu ataupun suku Antari dan orang gunug yang tiap hari berkeliaran tanpa henti.

Satu-satunya tempat yang paling aman adalah wilayah bagian tengah dari kaki gunung Tata, sebab di situlah segala jenis kekerasan dilarang, termasuk perang. Semua suku marga yang terlibat perang tahu aturan ini dan mereka selalu menjunjung tinggi setiap aturan dan ketetapan leluhurnya. Para Ondoafi dari setiap marga terus memperingati dan mengingat aturan ini, sebab mereka meyakini bahwa jikalau ada yang berani berperang ataupun berbuat kejahatan di wilayah tempat tinggal para leluhur maka ia pasti akan mati, karena arwah leluhur yang senantiasa berjaga-jaga akan berperang melawanya dan membunuhnya lewat hembusan angin kemudian mayat mereka akan menjadi santapan anjing-anjing lapar peliharaan leluhur yang berkeliaran, bahkan lebih menakutkan dari itu,  bagian kepala mereka yang berbuat jahat di wilayah ini akan dipajang bersama-sama dengan sesembahan untuk para leluhur di atas batu Heyowi depan pintu masuk dekat wilayah  gunung Tata.

Semua aturan ini selalu diikuti oleh seluruh kepala marga atau ondoafi yang ada dan mereka juga mempunyai kewajiban untuk menjaga aturan ini terus-menerus sampai generasi yang akan datang, namun semua aturan ini tidak bertahan lama sampai pada masa Morokani lahir delapan tahun kemudian.

Malam itu ketika bulan masih menggantung di ujung langit dan bintang-bintang bergemilang berpadu dengan sinar rembulan menerangi sebagian rumah Barmince yang nampak sepi di pinggir kampung Munggui. Barmince adalah perempuan cantik dari suku marga Antaribaba, perawakanya tinggi dan langsing menunjukkan keanggunan alami yang cukup mempesona setiap mata ketika memandangnya, hidungnya yang mancung menampilkan ciri khas sukunya, kepalanya berambut ikal dengan kulit sedikit kecoklatan yang mengkilap terkena tetesan cahaya matahari dan tentu saja ia adalah idaman di kampung Munggui

Setiap lelaki di kampung ini berharap bisa menikahainya ataupun paling tidak, bisa melihat sedikit saja senyumnya sambil memikirkan dia, kemudian pulang dan memainkan alat kelamin mereka sampai puas sembari sesekali menyebut nama Barmince. namun semua harapan mereka sirna saat Potis menghamilinya. Kekaguman dan harapan mereka  lenyap ditangan Potis yang telah menjadi suami Barmince.

Saat ini Barmince sedang hamil tua dan mungkin malam inlah waktunya untuk melahirkan, sebab ia merasakan sakit dan gejala yang aneh pada perutnya

"aduhh, sakit sekali!!"  ia mengerang kesakitan.

"Bagaimana ini, apakah sudah waktunya?" Ia bertanya dalam hati, sebab  ia sendirian di rumah dan suaminya sedang keluar. Hari ini semua laki-laki dewasa di kampung Munggui pergi untuk berburu dan menurut kebiasaan di kampung ini, bulan terang adalah waktu yang baik untuk berburu, maka setiap laki-laki dewasa maupun anak-anak yang sudah mulai tumbuh bulu kemaluannya harus pergi berburu untuk membuktikan bahwa mereka telah dewasa. Sedangkan, perempuan dan anak-anak harus tinggal di rumah untuk membakar sagu ataupun papeda sembari  menjaga rumah mereka, sebab diwaktu yang sama juga ada suanggi yang berterbangan untuk berburu anak-anak dan perempuan. Itulah mengapa anak-anak dan perempuan  dilarang untuk ikut berburu temasuk Barmince,  yang saat ini  sendiri ditinggal Potis pergi berburu.

Potis Meruni adalah suami dari Barmince. Ia merupakan pemburu yang handal, ia mampu memanah rusa dalam keheningan, satu tarikan napasnya  ia bisa menjatuhkan hewan buruan apapun yang telah diincarnya. Dan saat ini Potis memimpin satu kelompok kecil untuk berburu.

"Siapakan Jubi!!, Malam nanti bulan terang, kita akan berburu" Perintah potis tegas.

"pasti banyak babi dan rusa". Lanjut Potis memberitahukan kepada Iparnya sambil menggosok-gosokan alat berburunya: ---Pisau, Parang, dan juga beberapa anak Jubi yang telah ia siapkan dari tadi.  Namun iparnya berkata dengan ragu "memang betul banyak rusa" ., "banyak babi" "Tapi., istrimu sedang hamil tua" ., namun Potis dengan santai berkata "ahhh sudah... gampang itu"

"nanti dapat satu atau dua ekor babi ka atau rusa ka, kita langsung pulang."  Jawab Potis dengan percaya diri.

Ipar hanya mengangguk tanda setuju, kemudian pergi mencari Obrin dan Semel agar dapat berburu bersama-sama dengan harapan bisa lebih cepat mendapat hasil buruan.

***Sore menjelang malam, Potis menyantap daging kus-kus yang telah diasapi sambil menunggu Ipar, Obrin dan Semel. Ia dan istrinya sedang duduk dibawah cahaya api yang menjulur dari lampu kecil, inilah satu-satunya sumber penerangan yang mereka buat dari lidi dan getah buah damar.

Sementara mengigit sepotong daging, Potis bergumam "  hmmmm memang nikmat sekali daging ini,"  " apalagi bagian rusuk ini"  lanjutnya.

Barmince hanya terdiam memandang suaminya itu, sepertinya ada sesuatu yang tertahan di dalam benak namun belum Barmince sampaikan kepada Potis.  Ia memiliki perasaan yang kurang enak, hatinya gelisah pikirannya bercampur aduk dan dia tidak tenang, "sepertinya akan terjadi sesuatu malam ini" Barmince berguman dalam hati.

Rupanya Potis mampu memahami apa yang dirasakan oleh istrinya itu, kemudian dengan lembut ia memeluk Barmince, mengusap kepalanya dan berkata "jangan takut"  Potis berusaha untuk meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aku pasti kembali untuk kamu dan untuk anak kita" Tegas Potis.  Istrinyapun mulai merasa sedikit tenang dalam pelukan Potis.

*** Bulan sudah meninggi, angin barat berhembus lembut, bambu-bambu saling bersinggungan dan burung malam mulai berterbangan tak karuan sesekali berteriak dan mengagetkan Potis,  namun ipar dan teman-temannya belum kunjung datang, Potis pun berinisiatif untuk pergi mencari mereka, Ia kemudian pamit kepada istrinya dengan mengusap-usap perut istrinya sambil berkata " Tolong ko jaga baik-baik ko punya mama e anak, bapa nanti kembali " .  "Iyo jalan sudah" Barmince menjawab. " Jangan lupa bawa noken kecil tu" Lanjut Barmince sambil menyodorkan noken yang berisikan beberapa penggal Sagu bakar dan daging kus-kus asar. "Kalau lapar nanti makan ini!!" Barmince berpesan kepada suaminya itu.

Potis kemudian berangkat dan menemukan ipar bersama teman-temannya berada di Warce batas kampung Munggui dangan hutan Mandeparari, tempat biasanya mereka nongkrong sambil minum bobo untuk menghangatkan diri  dan menceritakan tentang semua hal acak yang mereka alami; mulai  dari berkelahi, suanggi, perempuan muda yang jago menghisap batang kemaluan hingga dengan siapa mereka tidur dan bergulat. Di Sinilah biasanya mereka saling bertukar informasi sembari menjadi ajang pamer-pameran.

"Semerlap,!!!!! ... sa tunggu kam semua dari tadi baru kam duduk minum bobo di sini"  Ucap Potis dengan penuh kekesalan. " Ayo cepat, kita jalan sekarang!!". Lanjutnya.

Dengan tergesa-gesa mereka kemudian langsung mengambil segala perkakas untuk berburu dan pergi dengan kecewa karena baru saja dimarahi Potis.

*** Beberapa saat kemudian mereka pun sampai di Mandeparari  hutan ulayat  tempat mereka berburu,  sambil membakar tembakaunya Potis memberikan arahan agar membagi menjadi dua kelompok, Potis akan bersama dengan Obrim sedangkan Iparnya akan bersama Semel. Rencananya, mereka akan memutari hutan ini, bergerak ke arah Yomehung dan kemudian bertemu di pinggiran gunung Tata.  Semuanya nampak menyepakati usulan dari Potis dan mereka mulai menjelajahi hutan yang gelap ini.

Mandeparari memang hutan yang sangat lebat dan sangat gelap di malam hari, bahkan cahaya bulan pun seakan tak berani menembusnya, pohon-pohon Moro yang besar menjulang tinggi menambah kengerian dalam hutan ini. Namun semua kengerian itu seperti tak berlaku bagi Potis dan teman-temannya, sebab setiap kali mereka memasuki hutan untuk berburu, mereka selalu melakukannya dengan penuh penghormatan kepada para leluhur. Sirih dan pinang mereka letakan di pintu masuk hutan ini. Mereka percaya leluhur yang menjaga hutan ini akan memakannya dan memberikan perlindungan pada para pemburu.

*** Potis kemudian memimpin Obrim melewati jalan gelap yang curam dan licin dengan batu-batu besar yang diselimuti lumut. Mereka menuju ke arah sungai Yomehung, sekitar sepertiga jalan mengelilingi hutan, langkah Potis mulai melambat, langkah kaki yang tadinya menimbulkan bunyi patahan ranting-ranting seketika hening menyatu dengan keheningan dan ritme alam.  Ia merangkak perlahan, memanjat batu besar sambil memantau di seberang suangai, perlahan ia menyoroti seekor rusa betina yang sedang melintasi Sungai Motam.

"Sssttt. Ada rusa, ada rusa!!" Ucap Potis.  "Aku juga melihatnya" Balas Obrim.

Potis kemudian menahan napas dalam-dalam, mengambil Jubi yang telah dibawanya kemudian menarik Jubi itu, talinya meregang menciptakan suara desis halus, dalam sekejap Jubi itu melesat kencang mengoyak keheningan diudara dan menembus badan rusa yang kurang waspada. Rusa itu tersentak mengangkat kepalanya sebelum terkapar di tanah dan menyatu dengan keheningan malam.

Obrim yang sedari tadi berdiri di samping Potis, menyaksikan dengan penuh kegembiraan dan tersenyum, ia bergumam dalam hati  " Hari ini kita makan enak, dapat rusa besar" . Mereka pun langsung berlari ke arah rusa yang terkapar itu dan tanpa kewaspadaan yang cukup, tiba-tiba, bruakakakakakakak......Terdengar ada suara  benda jatuh, Obrim berpaling dan ia mulai berteriak-teriak " Potissss!...,,Potiiis!!!,.Potisss???? " Obrim berteriak dengan suara yang bergetar namun tidak ada respon.

Ia kemudian berteriak lebih lantang, suaranya bercampur rasa takut dan kesedihan. "Potisss! Potisss!" Matanya basah, pandangannya kabur karena air mata. Ia tahu bahwa Potis sudah mati. Mayatnya terkapar di dasar jurang Motam yang dalam, tidak mungkin ia bisa selamat dari ketinggian tersebut. Jantungnya berdegup kencang, seakan merasakan beban berat dari kehilangan yang baru saja terjadi. Dalam kebingungan, Obrim menguatkan diri, menyeka air mata yang menghalangi pandangannya, dan menyadari bahwa ia harus kembali ke kampung untuk mencari bantuan. Dengan napas yang masih terengah-engah, ia mulai berlari, melawan rasa takut dan kesedihan yang menghantuinya di setiap langkah.

Ia berlari dengan tergesa-gesa, hatinya penuh rasa duka yang menusuk, ketakutan menemani setiap langkahnya "Leluhur marah!  leluhur marah!" teriaknya tanpa henti, suaranya mengelagar di antara pepohon, airnatanya tak henti mengalir, kakinya lemas namun ia terus berlari,  Obrim terus mengatakan "leluhur marah!" Hingga ia bertemu dengan beberapa warga kampung Munggui. "Apa yang terjadi, Obrim?" tanya salah satu warga cemas. "Leluhur marah! Potis... Potis jatuh ditarik leluhur ke jurang Motam! Dia...diambil leluhur, dia tidak selamat!" Obrim berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal sambil menceritakan kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya. Warga kampung saling berpandangan dengan wajah pucat, menyadari bahwa tragedi besar telah menimpa mereka.

Kabar kematian Potis mulai  tersebar ke seluruh telinga masyarakat kampung hingga ke telinga Barmince istri Potis.  Barmince yang masih ada dalam keadaan lelah setelah habis melahirkan anaknya, nampak tak kuasa menahan airmatanya. Ia tak percaya  dengan apa yang telah terjadi pada suaminya itu  "Potis eee, Potis sayang ooo"  Suara tangis pecah di ujung rumah, Barmince menangis tiada henti, tangisannya menggema keseluruh kampung Munggui.

Kampung Munggui terletak di lembah yang dinaungi oleh gunung Tata dan hutan lebat, akses jalan di Munggui berliku, hanya berupa jalan setapak berlumpur yang diapit oleh rumah-rumah warga yang sederhana. Di tengah desa, terdapat tanah lapang luas yang sudah tidak terawat dengan baik sehingga rumput liar tumbuh subur seperti pohon-pohon, dulu tempat ini digunakan untuk berbagai kegiatan adat, dulu suasana kampung Munggui selalu hidup dengan aktivitas para warga, anak-anak berlarian sambil bermain, sementara para perempuan sibuk menyiapkan makanan atau membuat kerajinan tangan dan menganyam noken. Aroma sagu bakar dan papeda yang dimasak selalu tercium di udara, asap bakaran selalu membumbung tinggi memberikan rasa kehangatan dan kenyamanan bagi siapa pun yang melewatinya, namun sayangnya sekarang sudah tidak lagi, sekarang tempat ini hanya dipenuhi oleh tangis haru dari Barmince.

 Bagian barat sebelah lapangan, berdiri sebuah rumah panggung yang nampak sudah reot, dengan ditopang delapan batang tiang besar di setiap sisinya, rumah ini nampak goyah, didingnya terbuat dari papan kayu matoa, lantainya terbuat dari batang pinang tua yang dibelah dan terkadang berderit saat diinjak, atapnya terbuat dari rumbia yang dianyam menyerupai tikar yang kemudian digabungkan dan digunakan sebagai atap, inilah rumah Barmince, di mana keheningan dan kesunyian selalu bersatu menyelimuti sekitarnya, sebab inilah satu-satunya rumah yang ada di sana.

Di bagian dalam rumah, terdapat satu ruangan utama yang digunakan untuk segala aktivitas. Di sinilah Barmince merenung tentang kisah hidup yang ia jalani bersama Potis, bagaimana dulu ia bertemu Potis dan bagaimana Potis membelainya mesra dan semua hal yang masih berputar di dalam kepala Barmince ia terbaring lemah tak berdaya ia menangisi Potis yang malang. Ia hanya ditemani Sebuah lampu kecil yang menerangi ruangan dengan cahaya yang terus bergerak lembut, menciptakan bayangan acak yang menari di dinding rumah itu.

*** Beberapa saat kemudian Ipar dan Semel tiba di kampung namun mereka belum menyadari bahwa Potis telah mati. Mereka pun bertanya kemana Potis dan Obrim sehingga mereka tidak ada di tempat pertemuan, namun dari kejauhan mereka mendengar suara tangis Barmince. "Ada yang menangis? " Semel bertanya", "aku juga mendengarnya! " Ipar menjawab.  " Itu seperti suara Barmince! Ayo kita ke sana". Lanjut Ipar

Sesampainya di sana, mereka mendapati Barmince yang sedang terbaring lemah berlinang air mata, mereka pun bertanya ada apa hingga ia menangis tiada hentinya, mereka langsung berpikir mungkin ia keguguran, namun dalam tangis nya Barmince berusaha menjawab

 " Potis,.... Matii" ... Potis mati di Mandeparari". Mereka pun syok seakan tak percaya, kemudian mereka bergegas untuk pergi memanggil para Tetua-tetua di kampung untuk mengambil mayat Potis sebelum di makan oleh anjing-anjing lapar peliharaan para leluhur. Mereka kemudian menyiapkan obor, setiap orang-orang tua dan pemuda bersama pergi ke hutan tempat Potis tergeletak, berdasarkan petunjuk dari Obrim mereka mencari tubuh Potis yang di dasar jurang, berjam-jam kemudian hingga matahari sudah mulai menampakan diri Potis belum juga ditemukan. Doa-doa kepada leluhur pun sudah dilantunkan berkali-kali namun tetap saja tidak membuahkan hasil.

Setelah doa dan sesembahan diberikan kepada leluhur, mereka memutuskan untuk kembali ke kampung. Langkah mereka berat dan penuh kesedihan. Para tetua yang berkumpul mulai berdiskusi dengan serius, wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam.

"Leluhur marah!" seru salah satu tetua dengan suara berat, memecah keheningan. "Potis telah membuat leluhur marah! Itulah mengapa ia menemui menjemput kematianya dengan cara tragis seperti itu," lanjutnya dengan nada penuh keyakinan.

Warga kampung yang mendengar pernyataan itu saling berpandangan, perasaan takut dan cemas menyelimuti mereka. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan oleh tetua adalah kebenaran.

"Pasti leluhur yang mengambil  tubuh dan jiwa Potis" salah seorang warga mengiyakan kata para tetua-tetua. Apa yang dibicarakan para Tetua-tetua adat selalu dianggap benar oleh semua warga kampung. Mereka pun kemudian pulang kembali dengan kehampaan dan keyakinan bahwa Potis mati karena melanggar aturan leluhurnya, dan sekarang mereka harus mencari cara untuk menenangkan amarah leluhur yang telah terganggu.

*** Tiga hari lamanya Barmince berkabung untuk suaminya Potis, sampai ia benar-benar yakin bahwa Potis telah tiada. Kesedihan yang mendalam masih menguasai hatinya, dalam keheningan rumahnya, ia menggendong anaknya dengan erat, bayi kecil itu menangis seakan merasakan kehilangan yang sama, Barmince menatap ke bubungan rumah yang sudah tergantung seutas tali rotan, ia meneteskan air mata dan membasahi wajahnya yang pucat, dengan tangan yang gemetar ia menyeka air matanya, bibirnya nampak kaku dan suara yang nampak serak ia berucap pada Morokani anaknya itu "Morokani, kamu akan menjadi kesatria hebat" dan kemudian Barmince menyerahkan lehernya pada tali itu. Ia menutup matanya, menarik napasnya dalam-dalam dan menyerahkan lehernya pada tali itu. ia mati tergantung di dalam rumahnya. Ia yakin dengan menyerahkan hidupnya pada kematian, leluhur akan menjaga anaknya dan akan mempertemukan ia dan kekasihnya Potis.



-Nabulla-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun