Mohon tunggu...
Adi MC
Adi MC Mohon Tunggu... Administrasi - Lectio contra est

''Kemanusiaan di atas segalanya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Barmince dan Morokani yang Malang

29 Juni 2024   07:58 Diperbarui: 29 Juni 2024   08:06 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Bagian barat sebelah lapangan, berdiri sebuah rumah panggung yang nampak sudah reot, dengan ditopang delapan batang tiang besar di setiap sisinya, rumah ini nampak goyah, didingnya terbuat dari papan kayu matoa, lantainya terbuat dari batang pinang tua yang dibelah dan terkadang berderit saat diinjak, atapnya terbuat dari rumbia yang dianyam menyerupai tikar yang kemudian digabungkan dan digunakan sebagai atap, inilah rumah Barmince, di mana keheningan dan kesunyian selalu bersatu menyelimuti sekitarnya, sebab inilah satu-satunya rumah yang ada di sana.

Di bagian dalam rumah, terdapat satu ruangan utama yang digunakan untuk segala aktivitas. Di sinilah Barmince merenung tentang kisah hidup yang ia jalani bersama Potis, bagaimana dulu ia bertemu Potis dan bagaimana Potis membelainya mesra dan semua hal yang masih berputar di dalam kepala Barmince ia terbaring lemah tak berdaya ia menangisi Potis yang malang. Ia hanya ditemani Sebuah lampu kecil yang menerangi ruangan dengan cahaya yang terus bergerak lembut, menciptakan bayangan acak yang menari di dinding rumah itu.

*** Beberapa saat kemudian Ipar dan Semel tiba di kampung namun mereka belum menyadari bahwa Potis telah mati. Mereka pun bertanya kemana Potis dan Obrim sehingga mereka tidak ada di tempat pertemuan, namun dari kejauhan mereka mendengar suara tangis Barmince. "Ada yang menangis? " Semel bertanya", "aku juga mendengarnya! " Ipar menjawab.  " Itu seperti suara Barmince! Ayo kita ke sana". Lanjut Ipar

Sesampainya di sana, mereka mendapati Barmince yang sedang terbaring lemah berlinang air mata, mereka pun bertanya ada apa hingga ia menangis tiada hentinya, mereka langsung berpikir mungkin ia keguguran, namun dalam tangis nya Barmince berusaha menjawab

 " Potis,.... Matii" ... Potis mati di Mandeparari". Mereka pun syok seakan tak percaya, kemudian mereka bergegas untuk pergi memanggil para Tetua-tetua di kampung untuk mengambil mayat Potis sebelum di makan oleh anjing-anjing lapar peliharaan para leluhur. Mereka kemudian menyiapkan obor, setiap orang-orang tua dan pemuda bersama pergi ke hutan tempat Potis tergeletak, berdasarkan petunjuk dari Obrim mereka mencari tubuh Potis yang di dasar jurang, berjam-jam kemudian hingga matahari sudah mulai menampakan diri Potis belum juga ditemukan. Doa-doa kepada leluhur pun sudah dilantunkan berkali-kali namun tetap saja tidak membuahkan hasil.

Setelah doa dan sesembahan diberikan kepada leluhur, mereka memutuskan untuk kembali ke kampung. Langkah mereka berat dan penuh kesedihan. Para tetua yang berkumpul mulai berdiskusi dengan serius, wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam.

"Leluhur marah!" seru salah satu tetua dengan suara berat, memecah keheningan. "Potis telah membuat leluhur marah! Itulah mengapa ia menemui menjemput kematianya dengan cara tragis seperti itu," lanjutnya dengan nada penuh keyakinan.

Warga kampung yang mendengar pernyataan itu saling berpandangan, perasaan takut dan cemas menyelimuti mereka. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan oleh tetua adalah kebenaran.

"Pasti leluhur yang mengambil  tubuh dan jiwa Potis" salah seorang warga mengiyakan kata para tetua-tetua. Apa yang dibicarakan para Tetua-tetua adat selalu dianggap benar oleh semua warga kampung. Mereka pun kemudian pulang kembali dengan kehampaan dan keyakinan bahwa Potis mati karena melanggar aturan leluhurnya, dan sekarang mereka harus mencari cara untuk menenangkan amarah leluhur yang telah terganggu.

*** Tiga hari lamanya Barmince berkabung untuk suaminya Potis, sampai ia benar-benar yakin bahwa Potis telah tiada. Kesedihan yang mendalam masih menguasai hatinya, dalam keheningan rumahnya, ia menggendong anaknya dengan erat, bayi kecil itu menangis seakan merasakan kehilangan yang sama, Barmince menatap ke bubungan rumah yang sudah tergantung seutas tali rotan, ia meneteskan air mata dan membasahi wajahnya yang pucat, dengan tangan yang gemetar ia menyeka air matanya, bibirnya nampak kaku dan suara yang nampak serak ia berucap pada Morokani anaknya itu "Morokani, kamu akan menjadi kesatria hebat" dan kemudian Barmince menyerahkan lehernya pada tali itu. Ia menutup matanya, menarik napasnya dalam-dalam dan menyerahkan lehernya pada tali itu. ia mati tergantung di dalam rumahnya. Ia yakin dengan menyerahkan hidupnya pada kematian, leluhur akan menjaga anaknya dan akan mempertemukan ia dan kekasihnya Potis.



-Nabulla-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun