Sementara mengigit sepotong daging, Potis bergumam " Â hmmmm memang nikmat sekali daging ini," Â " apalagi bagian rusuk ini" Â lanjutnya.
Barmince hanya terdiam memandang suaminya itu, sepertinya ada sesuatu yang tertahan di dalam benak namun belum Barmince sampaikan kepada Potis. Â Ia memiliki perasaan yang kurang enak, hatinya gelisah pikirannya bercampur aduk dan dia tidak tenang, "sepertinya akan terjadi sesuatu malam ini" Barmince berguman dalam hati.
Rupanya Potis mampu memahami apa yang dirasakan oleh istrinya itu, kemudian dengan lembut ia memeluk Barmince, mengusap kepalanya dan berkata "jangan takut" Â Potis berusaha untuk meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku pasti kembali untuk kamu dan untuk anak kita" Tegas Potis. Â Istrinyapun mulai merasa sedikit tenang dalam pelukan Potis.
*** Bulan sudah meninggi, angin barat berhembus lembut, bambu-bambu saling bersinggungan dan burung malam mulai berterbangan tak karuan sesekali berteriak dan mengagetkan Potis, Â namun ipar dan teman-temannya belum kunjung datang, Potis pun berinisiatif untuk pergi mencari mereka, Ia kemudian pamit kepada istrinya dengan mengusap-usap perut istrinya sambil berkata " Tolong ko jaga baik-baik ko punya mama e anak, bapa nanti kembali " . Â "Iyo jalan sudah" Barmince menjawab. " Jangan lupa bawa noken kecil tu" Lanjut Barmince sambil menyodorkan noken yang berisikan beberapa penggal Sagu bakar dan daging kus-kus asar. "Kalau lapar nanti makan ini!!" Barmince berpesan kepada suaminya itu.
Potis kemudian berangkat dan menemukan ipar bersama teman-temannya berada di Warce batas kampung Munggui dangan hutan Mandeparari, tempat biasanya mereka nongkrong sambil minum bobo untuk menghangatkan diri  dan menceritakan tentang semua hal acak yang mereka alami; mulai  dari berkelahi, suanggi, perempuan muda yang jago menghisap batang kemaluan hingga dengan siapa mereka tidur dan bergulat. Di Sinilah biasanya mereka saling bertukar informasi sembari menjadi ajang pamer-pameran.
"Semerlap,!!!!! ... sa tunggu kam semua dari tadi baru kam duduk minum bobo di sini" Â Ucap Potis dengan penuh kekesalan. " Ayo cepat, kita jalan sekarang!!". Lanjutnya.
Dengan tergesa-gesa mereka kemudian langsung mengambil segala perkakas untuk berburu dan pergi dengan kecewa karena baru saja dimarahi Potis.
*** Beberapa saat kemudian mereka pun sampai di Mandeparari  hutan ulayat  tempat mereka berburu,  sambil membakar tembakaunya Potis memberikan arahan agar membagi menjadi dua kelompok, Potis akan bersama dengan Obrim sedangkan Iparnya akan bersama Semel. Rencananya, mereka akan memutari hutan ini, bergerak ke arah Yomehung dan kemudian bertemu di pinggiran gunung Tata.  Semuanya nampak menyepakati usulan dari Potis dan mereka mulai menjelajahi hutan yang gelap ini.
Mandeparari memang hutan yang sangat lebat dan sangat gelap di malam hari, bahkan cahaya bulan pun seakan tak berani menembusnya, pohon-pohon Moro yang besar menjulang tinggi menambah kengerian dalam hutan ini. Namun semua kengerian itu seperti tak berlaku bagi Potis dan teman-temannya, sebab setiap kali mereka memasuki hutan untuk berburu, mereka selalu melakukannya dengan penuh penghormatan kepada para leluhur. Sirih dan pinang mereka letakan di pintu masuk hutan ini. Mereka percaya leluhur yang menjaga hutan ini akan memakannya dan memberikan perlindungan pada para pemburu.
*** Potis kemudian memimpin Obrim melewati jalan gelap yang curam dan licin dengan batu-batu besar yang diselimuti lumut. Mereka menuju ke arah sungai Yomehung, sekitar sepertiga jalan mengelilingi hutan, langkah Potis mulai melambat, langkah kaki yang tadinya menimbulkan bunyi patahan ranting-ranting seketika hening menyatu dengan keheningan dan ritme alam. Â Ia merangkak perlahan, memanjat batu besar sambil memantau di seberang suangai, perlahan ia menyoroti seekor rusa betina yang sedang melintasi Sungai Motam.
"Sssttt. Ada rusa, ada rusa!!" Ucap Potis. Â "Aku juga melihatnya" Balas Obrim.
Potis kemudian menahan napas dalam-dalam, mengambil Jubi yang telah dibawanya kemudian menarik Jubi itu, talinya meregang menciptakan suara desis halus, dalam sekejap Jubi itu melesat kencang mengoyak keheningan diudara dan menembus badan rusa yang kurang waspada. Rusa itu tersentak mengangkat kepalanya sebelum terkapar di tanah dan menyatu dengan keheningan malam.
Obrim yang sedari tadi berdiri di samping Potis, menyaksikan dengan penuh kegembiraan dan tersenyum, ia bergumam dalam hati  " Hari ini kita makan enak, dapat rusa besar" . Mereka pun langsung berlari ke arah rusa yang terkapar itu dan tanpa kewaspadaan yang cukup, tiba-tiba, bruakakakakakakak......Terdengar ada suara  benda jatuh, Obrim berpaling dan ia mulai berteriak-teriak " Potissss!...,,Potiiis!!!,.Potisss???? " Obrim berteriak dengan suara yang bergetar namun tidak ada respon.
Ia kemudian berteriak lebih lantang, suaranya bercampur rasa takut dan kesedihan. "Potisss! Potisss!" Matanya basah, pandangannya kabur karena air mata. Ia tahu bahwa Potis sudah mati. Mayatnya terkapar di dasar jurang Motam yang dalam, tidak mungkin ia bisa selamat dari ketinggian tersebut. Jantungnya berdegup kencang, seakan merasakan beban berat dari kehilangan yang baru saja terjadi. Dalam kebingungan, Obrim menguatkan diri, menyeka air mata yang menghalangi pandangannya, dan menyadari bahwa ia harus kembali ke kampung untuk mencari bantuan. Dengan napas yang masih terengah-engah, ia mulai berlari, melawan rasa takut dan kesedihan yang menghantuinya di setiap langkah.
Ia berlari dengan tergesa-gesa, hatinya penuh rasa duka yang menusuk, ketakutan menemani setiap langkahnya "Leluhur marah! Â leluhur marah!" teriaknya tanpa henti, suaranya mengelagar di antara pepohon, airnatanya tak henti mengalir, kakinya lemas namun ia terus berlari, Â Obrim terus mengatakan "leluhur marah!" Hingga ia bertemu dengan beberapa warga kampung Munggui. "Apa yang terjadi, Obrim?" tanya salah satu warga cemas. "Leluhur marah! Potis... Potis jatuh ditarik leluhur ke jurang Motam! Dia...diambil leluhur, dia tidak selamat!" Obrim berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal sambil menceritakan kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya. Warga kampung saling berpandangan dengan wajah pucat, menyadari bahwa tragedi besar telah menimpa mereka.
Kabar kematian Potis mulai  tersebar ke seluruh telinga masyarakat kampung hingga ke telinga Barmince istri Potis.  Barmince yang masih ada dalam keadaan lelah setelah habis melahirkan anaknya, nampak tak kuasa menahan airmatanya. Ia tak percaya  dengan apa yang telah terjadi pada suaminya itu  "Potis eee, Potis sayang ooo"  Suara tangis pecah di ujung rumah, Barmince menangis tiada henti, tangisannya menggema keseluruh kampung Munggui.
Kampung Munggui terletak di lembah yang dinaungi oleh gunung Tata dan hutan lebat, akses jalan di Munggui berliku, hanya berupa jalan setapak berlumpur yang diapit oleh rumah-rumah warga yang sederhana. Di tengah desa, terdapat tanah lapang luas yang sudah tidak terawat dengan baik sehingga rumput liar tumbuh subur seperti pohon-pohon, dulu tempat ini digunakan untuk berbagai kegiatan adat, dulu suasana kampung Munggui selalu hidup dengan aktivitas para warga, anak-anak berlarian sambil bermain, sementara para perempuan sibuk menyiapkan makanan atau membuat kerajinan tangan dan menganyam noken. Aroma sagu bakar dan papeda yang dimasak selalu tercium di udara, asap bakaran selalu membumbung tinggi memberikan rasa kehangatan dan kenyamanan bagi siapa pun yang melewatinya, namun sayangnya sekarang sudah tidak lagi, sekarang tempat ini hanya dipenuhi oleh tangis haru dari Barmince.